Film yang bersejarah... #uopooo
rima
Kuberi Sedikit Rima untuk Jurnal Kita
Kita berdua adalah pesakitan
Saling datang satu sama lain
Berjanji di sebuah persimpangan yang teduh
Di lingkaran basah reranting dan dedaun luruh
Sambil menatap kedalaman mata masing-masing
Yang sembab
Usai menangis
Namun ujung-ujung bibir kita menarik berlawan-lawan
Membentuk busur-busur senyum yang mengiris
Memanah jauh
Di pekuburan alam bawah sadarku yang paling dalam
Melepas sedikit belenggu sesal
Kita adalah petualang sayang
Selalu nyandu pada beranjak keluar
Berlari pada malam
Yang sama pekatnya dengan jelaga pabrik yang membelai
rambutmu
Mencari kemungkinan-kemungkinan
Hingga selelah-lelahnya
Namun,
Tiap kali pertemuan mengajarkanku
Bahwa,
Kita adalah rumah bagi kita masing-masing
Yang ketika di dalamnya aku tak mau terjebak pada retorika
kata-kata
Yang ketika lelah aku mampu mengadu sehabis-habisnya
Melepas memori-memori antah berantah
Menjinakkan rindu yang grogi dibelai pagi
Bahwa,
Hanya katup kelopak mata kita yang mengajarkan kita
bermimpi
Bukan kelopak orang lain
Hanya gemerisik ujung jemari kita berdua yang benar-benar
mengenal wajah kita
Sedangkan orang-orang hanya mengira-ira
Hanya bekas gurat air mata di ujung mata kita yang
meringkas segala sesuatu tentang luka kita
Maukah engkau kembali mengucir rambutku yang berantakan
sayang?
Sementara motor kita melaju, tempelkan dagumu yang lancip
itu ke pundakku lagi
Hingga kita berdua dapat mendengar detak jantung
masing-masing dengan lebih jelas
Dan berbisik mesra “I love you” pada masing-masing
telinga
Temaniku lagi berjalan jauh menuntun shogun tua ku yang
kehabisan bensin atau bocor ketika sial
Apakah engkau lelah perempuanku?
Kalau sudah lelah berjalan boleh lah kita duduk dulu
menikmati dinginnya malam sembari bercanda tentang kaki-kaki kurusmu
Atau saling meminumkan seteguk rindu
Tapi, aku tahu engkau perempuan kuat
“sudah biasa jalan jauh” katamu, aku ingin menambahi
“mungkin bukan hanya jauh, tapi juga menanjak dan terjal”
Aku ingin menangis ketika mendengarnya, entah kenapa yang
keluar hanya seuntai tawa.
Akhir dari Sidang Kuasa
(Sebuah refleksi dan analisis tentang dekadensi militansi
dan intelektual pergerakan mahasiswa)
Akhir-akhir
ini sidang jajaran penguasa kampus yang terdiri dari pemerintah, rektorat, dan
para korporat kaya sedang direpotkan oleh tindak-tanduk subversif yang mereka
pikir begitu berbahaya bagi mapannya kekuasaan mereka. Tindak-tanduk itu
berangkat dari beberapa mahasiswa pembangkang yang tidak mau tunduk dengan
sistem yang menurut mereka “salah arah” dan tidak humanis. Mereka berorganisasi, mempertajam
senjata dengan pengayaan wacana, bergerak walau kecil dan sporadis, dan yang
paling ditakuti adalah: Ya! Mereka militan. Selain pembangkang, mereka adalah
jenis mahasiswa yang tahan banting. Selalu saja ada jalan untuk melawan. Perlawanan
mulai dari tataran ideologis seperti perang wacana dengan rektorat, tentang
apakah pendidikan di kampus mereka adalah pendidikan yang humanis atau fasis.
Tataran praktis, seperti memperdebatkan regulasi yang tidak tepat sasaran atau
uang kuliah yang terlampau mahal. Hingga pada tataran yang melanggar hukum,
seperti masa aksi di depan rektorat, merusak sistem informasi perkuliahan,
sampai mensabotase rapat jajaran senat.
Metode
pendisiplinan a la abad pencerahan yang sifatnya meniadakan, merepresi, mensensor, mengabstraksikan,
menyelubungi, dan menyembunyikan dirasa tak lagi efektif untuk menjinakkan
mereka. “Makin diinjak, makin melawan” adalah slogan bagi para mahasiswa
pembangkang. Ketika ada ketidakadilan yang ditutup-tutupi, maka dengan cerdik
mereka segera menguaknya. Indera mereka tajam, dan perasaan mereka pun peka. Ketika
ada ketidakmanusiawian dalam perlakuan kepada mahasiswa, mereka mengadvokasi
korban dengan pemberitaan dan pembentukan opini publik. Ketika ada
kesalaharahan dalam sistem pendidikan, mereka membuat sistem pendidikan sendiri
dengan basis komunitas yang kuat. Ketika ada penyensoran dan pembredelan media
kampus, maka mereka membuat media sendiri dan menyebarkannya dengan diam-diam.
Jajaran penguasa sudah cukup dibuat pusing dengan kemilitanan para mahasiswa pembangkang tersebut. Harus ada metode pendisiplinan baru yang lebih efektif demi mempertahankan kemapanan kekuasaan mereka. “Eureka!” Teriak korporat kaya dengan girang saat ia menemukan metode pendisiplinan untuk para mahasiswa pembangkang pengusung ide-ide subversif. Mereka mengusulkan untuk lebih mengintensifkan penggunaan senjata yang bernama wacana budaya pop arus utama. Semua setuju.
Duarr!!! Bagaikan bom kluster, wacana budaya pop pun ditembakkan. Area yang disasar adalah anak kuliahan pada umumnya. Teknologi informasi, hiperrealitas media, dan dunia hiburan menjadi motor wacana budaya pop tersebut menyebar tak tentu arah. Kampus membuka lebar-lebar jalan masuk perusahaan-perusahaan yang ingin menawarkan produk mereka. Sejak saat itu semakin seringlah di area kampus dibuka tenda-tenda produk pemutih wajah, makanan ringan, voucher hp, pembalut wanita, dan berbagai variasi merk pelangsing tubuh. Produsen-produsen televisi swasta tak lagi malu menawarkan mimpi-mimpi popularitas dengan idol-idol-an-nya, atau membuka kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswa untuk sedikit mencicipi rasanya masuk TV. Konser-konser dan pertunjukan hiburan yang mendatangkan artis-artis ibukota lebih digiatkan. Hedonisme dan konsumerisme ditunjukkan oleh para petinggi kampus macam dosen dan jajaran rektorat. Disadari atau tidak, di balik itu semua, bersembunyi iming-iming akan kesenangan. “Apa saja yang menyenangkan, itulah yang penting”.
Efek bom wacana tersebut mengenai para mahasiswa yang sebelumnya sudah hedonis dan nge-pop, sekaligus juga kepada para mahasiswa yang baru saja masuk ke dunia perkuliahan. Pengaruh wacana budaya pop arus utama yang sebelumnya sudah banyak dicekokkan oleh media massa kepada para mahasiswa baru ketika mereka masih SMA, menjadi terakumulasi dan semakin mengental ketika mereka memasuki dunia perkuliahan. Konsekuensi logisnya, gerakan mahasiswa untuk perubahan tidak lagi ada kadernya. Hal tersebut disebabkan karena gerakan mahasiswa dirasa tidak memberikan kesenangan seperti yang ditawarkan oleh semangat hedonisme dalam budaya pop. Semakin lama minat mahasiswa untuk terjun di sana dengan sendirinya merosot. Pengaruh gaya hidup mahasiswa dan aktivis-aktivisnya yang semakin terpesona oleh budaya pop menyebabkan pergeseran gerakan mahasiswa. Mahasiswa menjadi malas berorganisasi, bergerak, juga melawan. Karena, mahasiswa yang berorganisasi, bergerak, dan melawan adalah mahsiswa yang “abnormal”. Satu-dua mahasiswa tidak terperangkap budaya pop arus utama, namun sayang mereka menunjukkannya hanya dengan gaya hidup yang banal saja, macam tidak ikut fashion, nongkrong, bersenang-senang, mabuk-mabukan, namun tak ada niat untuk perubahan keadaan sosial. Sidang kuasa pun tersenyum.
Tak bisa dipungkiri, ini adalah ujian terberat bagi para mahasiswa pembangkang yang masih menjaga semangat pelawanan mereka. Seperti tak mau memberikan celah, penguasa pun mengeluarkan senjata mereka lagi, kali ini adalah pengetatan regulasi-regulasi perkuliahan maupun non-perkuliahan. Contoh, masa kuliah dibatasi hanya 5 tahun saja, jumlah SKS yang harus ditempuh diperbanyak, pelaksanaan sistem poin yang membuat mahasiswa menjadi sangat pragmatis, hingga penaikan biaya kuliah yang begitu tinggi. Akibatnya, mahasiswa pun menjadi study-oriented. Pergerakan dan organisasi mati karena dianggap mengganggu perkuliahan dan para mahasiswa pembangkang nasibnya lebih sial, terancam DO. Organisasi sepi karena disorientasi gerakan. Banyak mahasiswa yang memilih berkompromi dengan masuk sistem di kampus, tetap ada yang melanjutkan perlawanan (walaupun sendiri, dan terancam DO) namun berakhir dengan kelelahan dan keputusasaan. Militansi hilang, pergerakan mati, kekuasaan pun tetap langgeng. Senyum sidang kuasa semakin lebar.
Dari refleksi ini kita bisa menarik benang merah cara kerja pendisiplinan subyek kuasa kepada yang dikuasai (meskipun ternyata, subyek kuasa pun juga termasuk hasil kuasa itu sendiri). Mereka sadar bahwa kuasa tak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi terutama melalui wacana, normalisasi, dan regulasi. Ini yang disebut Foucault sebagai kontrol sosial yang baru. Bertentangan dengan ideologi pendisiplinan a la abad pencerahan yang telah dijalankan, tujuan utama kontrol sosial adalah untuk mendepolitisasikan ketidakpuasan sosial dengan menyingkirkan atau mengasingkan individu yang non-kompromis dan meregulasikan mereka dengan sebuah alat penjagaan dan managemen psikologis.
Dari sini
kita harus menyadari bahwa cara kerja kuasa memang perlu dikuliti untuk
mendelegitimasi kekuasaan itu sendiri. Karena kuasa memproduksi realitas dan
ritus-ritus kebenaran. Yang didisiplinkan adalah jiwa kita. Psikis, subjektivitas, personalitas, kesadaran dan individualitas kita. Kita menjadi
saling mengawasi, bahkan dengan sukarela. lalu kita mendisiplinkan diri kita
sendiri. Sesuai dengan apa yang diinginkan oleh subyek kuasa.
Leo Agung Bayu W.
~nataser~
cen asu
Titik
refleksi dalam organisasi
1.
Awal dipilih
jadi PU di Mubes Luar Biasa
Awal pemilihan
PU periode 2010-2011 adalah ketika Mubes luar biasa pada 19 Desember 2010 tahun
lalu. Sejak saat itu jabatan PU belumlah menjadi jabatan yang formal melainkan
masih bersifat kultural. Warisan dari natas 2009 adalah isu mau dijadikannya
natas menjadi organisasi yang lebih struktural. Perlu diketahui, kerangka
berpikir kita kala itu adalah seperti ini: organisasi yang struktural adalah
organisasi yang rapi dalam bekerja, tiap individu atau divisi mempunyai
wilayahnya masing-masing, cenderung kaku, dan mantab dalam hal administrasi.
Sedangkan organisasi yang kultural adalah organisasi yang cair, sifat
kekeluargaanya begitu kental, dan cenderung kurang tertib dalam bidang administrasi.
Meskipun banyak
perdebatan, mana yang paling cocok untuk natas, struktural atau kulturalnya,
kebanyakan suara lebih menginginkan natas yang struktural. Batu pijakan pertama
menuju ke natas yang lebih struktural adalah pengkaderan angkatan 2010 yang
bersifat pembekalan formal dan intens. Dan yang kedua adalah upaya untuk pe-rapi-an
natas baik dalam segi fisik maupun yang metafisik.
Selain itu natas
perode ini adalah natas yang mencoba-coba sistem baru. Dari ilmu pengetahuan
tentang keorganisasian dari LPM-LPM lain, natas mencoba sistem pengkaderan
model jenjang karir. Yang dimaksud adalah adanya pembagian tugas yang jelas
antar angkatan. Intinya tiap angkatan mempunyai hak dan kewajiban yang beda.
Misalnya angkatan 2010 tidak dimasukkan dalam divisi majalah dulu. Atau yang
menjadi pengurus diutamakan dari anggota yang sudah aktif 2 tahun di natas,
dll.
2.
Masa genting
natas episode I
Dalam
dinamikanya, natas mengalami masa genting pada awal-awal kepengurusan setelah
mubes luar biasa. Model pengkaderan ala 2010 yang menekankan formalitas dan
kemampuan profesional malah menjadi bumerang bagi natas sendiri. Ketika itu
bisa dilihat berapa banyak anggota angkatan 2010 yang betah di natas. Dari
hampir 100 orang pendaftar, saat setelah pengerjaan NHN magang hanya tersisa 20
an orang. Itu jika diukur dari segi kuantitas, dalam kualitas pun dianggap
belum cukup mumpuni baik dalam militansi, berwacana, maupun produktifitasnya.
Bukan hanya
dalam hal pengkaderan 2010 yang bermasalah, saat itu terdapat sebuah kejadian
yang paling mempengaruhi mood
berorganisasi untuk kedepannya. Seakan-akan jalinan yang selama ini dibuat di
organisasi menjadi runtuh begitu saja. Permasalahan tersebut memang bersifat
personal, namun juga erat menyangkut keorganisasian. Ketegangan-ketegangan
antar personal pun bermunculan satu per satu, natas terpecah belah menjadi
beberapa kubu.
Tidak hanya
berhenti di situ saja, muncul permasalahan selanjutnya, yaitu kehadiran
teknologi bernama laptop. Tak bisa dipungkiri laptop layaknya pedang bermata
dua. Di satu sisi bisa membunuh lawan, namun di sisi lain bisa juga melukai
diri sendiri. Seharusnya dengan kehadiran laptop kinerja keorganisasian natas
menjadi semakin meningkat, namun apa daya, game lah yang menang. Hasilnya
adalah kecanduan game (contohnya PES, Rise of Nation, Warcraft, dll) yang
menyebabkan gejala-gejala nataser yang seperti ini: malas, anti sosial, tak
pernah lagi berdiskusi, mengalami kemunduran intelektual dan tidak produktif.
Masa genting natas episode I ini berlanjut hingga mubes 2010.
3.
Mubes 2010
Musyawarah Besar
adalah saat paling sakral dalam dinamika keorganisasian UKPM natas. Setelah
selama hampir 2 bulan menjabat sebagai PU ilegal, akhirnya ketika 25 Februari
2010 saya menjadi PU yang legal bagi natas. Ditanggal itu lah para pengurus
dilantik di Mubes natas 2010. Berangkat dari kerangka pikir yang sebelumnya
(menjadikan natas yang “struktural”) kami, para pengurus harian menetapkan
program-program jangka pendek yang sekiranya dapat membawa natas ke arah yang
diinginkan, yaitu natas yang lebih profesional dan rapi. Misalnya dengan
membuat sistem baru pengambilan uang. Selain itu juga lebih fokus di renstra
universitas yang sudah disepakati, yaitu memperkuat jaringan kerja.
4.
Mencoba
bersama-sama memperbaiki masa genting natas episode I
Menghadapi
situasi natas yang kurang mendukung untuk beroganisasi, maka beberapa nataser
yang peduli terhadap organisasi yang dicintainya mencoba mengambil beberapa
langkah. Yang pertama adalah mendiskusikan keadaan natas bersama para alumni natas
yang masih eksis hingga sekarang (sebut saja Lisis dan Al). Isi diskusi
tersebut kurang lebih menguliti kondisi akademik kampus, sistem yang menindas,
membuat pemetaan kondisi organisasi dan kampus. Bertolak dari situ para nataser
pun mereka-reka apa langkah yang tepat untuk ke depannya.
Langkah pertama yang dilakukan adalah
mengadakan evaluasi besar. Waktu itu evaluasi dilakukan dua tahap, yang pertama
adalaha per angkatan yang kedua keseluruhan anggota. Hasil evaluasi dapat
dengan mudah ditebak. Angkatan 2008 misalnya, banyak yang terlalu sibuk dengan
dunianya sendiri, beberapa merasa sendirian, bahkan terdapat
kelelahan-kelelahan baik dalam tataran fisik maupun psikis. Angkatan 2009
belajar untuk mengkritik dan menerima kritik dan bagaimana menyelesaikan
masalah dengan dewasa. Dari evaluasi tersebut para nataser menyadari bahwa
sekarang bukan saatnya lagi untuk dikader, melainkan saatnya mengkader. Selang
beberapa detik kemudian para nataser terbuka matanya, bahwa ada angkatan 2010
yang terlunta-lunta dan menunggu untuk dilantik.
Pada proses
pelantikan kali ini, dinamika dan mood
berorganisasi natas menunjukan tanda-tanda membaik. Semua berjalan tanpa
hambatan berarti kecuali jumlah anggota baru natas yang ikut pelantikan tidak
mencapai 15 orang. Ini firasat baik bagi natas.
5.
Masa genting
natas episode II
Firasat baik
ketika pelantikan ternyata hanya berhenti pada firasat saja, kenyataan berkata
sebaliknya. Natas mengalami masa yang disebut sebagai masa genting natas
episode II. Pada awalnya adalah rapat kerja pertama. Pada rapat ini kami
(pengurus hatrian) merencanakan untuk memasukkan anggota baru ke dalam
divisi-divisi yang ada sekaligus membicarakan program ke depannya dalam tataran
praktis. Namun ternyata sebagian besar dari anggota baru tidak bisa datang
dalam rapat penting tersebut. Akhirnya hanya beberapa orang saja yang
dipastikan masuk ke dalam divisi-divisi yang ada. Rapat pun diundur. Rapat
selanjutnya kondisinya masih belum berubah, entah apa penyebabnya. Antisipasi
yang dilakukan hanyalah memasukkan anggota-anggota yang sudah datang. Sedangkan
yang tidak datang dimasukkan sekenanya mengingat keterbatasan waktu. (waktu itu
menjelang ujian tengah semester).
Waktu berjalan
hingga menuju liburan. Nah, masa ini lah yang menurut saya paling mengerikan,
yaitu kevakuman dinamika natas yang disebabkan oleh banyaknya kegiatan di luar
natas. Beberapa nataser menikuti jaksa, beberapa lagi mengikuti SIMAK, beberapa
mengikuti insadha, beberapa mengikuti kerja sambilan, dll, lalu yang tinggal di
natas pun bisa ditebak, tinggal beberapa juga. Sampai sekarang saya masih
menebak-nebak penyebab banyaknya nataser yang mengikuti kegiatan di luar natas.
Kembali,
beberapa nataser yang peduli dengan organisasi kita yang tercinta ini melakukan
beberapa tindakan untuk menyembuhkan organisasi kita yang sakit ini. Misalnya
dengan menggiatkan kembali diskusi-diskusi baik secara formal maupun informal.
Kuantitas nongkrong bareng diperbanyak. Namun ternyata hasilnya belum juga
memuaskan. Masih banyak anggota yang terjebak dalam kegiatan yang bersifat ngemo atau G3JG (Galau-galau gak jelas gitu).
6.
Perombakan
besar-besaran organisasi
Evaluasi
keanggotaan pun diadakan lagi. Satu persatu penyakit organisasi ditelanjangi
dan dianalisa. Akhirnya para anggota natas menyepakati bahwa harus ada
perombakan keanggotaan. Perombakan ini dilakukan dengan cara pemecatan dan
pemberian peringatan. Pada waktu itu ada 12 anggota yang diputuskan untuk
dipecat, dan 5 anggota diberi peringatan. Sempat muncul pro-kontra mengenai
tindakan tersebut.
7.
Kegagalan tertib
administrasi
Kegagalan yang
paling menohok adalah ketika natas tidak mengumpulkan beberapa LPJ kegiatan.
Dengan alasan itulah rektorat menolak permintaan proposal launching majalah dan
dua NHN edisi terakhir. Dari kejadian tersebut bisa dibilang bahwa administrasi
natas tahun ini masih kurang tertib. Sungguh ironis melihat kerangka awal
berpikir kita adalah menjadikan natas yang lebih terstruktur. Memang kesalahan
sepenuhnya tidak terletak di tangan natas. Ada hal-hal yang ganjil yang dilakukan
rektorat misalnya tidak adanya pemberitahuan sebelumnya bahwa LPJ kita ada yang
belum ditumpuk dan pemberitahuannya disampaikan ketika menjelang tutup buku.
Selain itu kegiatan-kegiatan sebelumnya seperti ekspo dan dikdas juga tidak
bermasalah dalam pencairan uang. Namun ini menjadi pelajaran berharga bagi saya
tentang pentingnya administrasi dalam sebuah organisasi.
8.
Tentang fungsi
kontrol PU
Fungsi kontrol. Dari
dulu yang paling disorot dari tugas PU adalah soal fungsi kontrol. Harus aya
akui bahwa dalam hal fungsi kontrol terhadap anggota masih kurang. Terbukti
masih banyak yang mengeluhkan tentang perlunya “dioyak-oyak”. Namun harus
diingat juga bahwa natas adalah organisasi yang menjunjung tinggi demokrasi
sehingga untuk menetapkan suatu keputusan, musyawarah adalah jalan terbaik.
9.
Kesimpulan dan
saran untuk kepengurusan selanjutnya
Dari
urian-uraian sebelumnya kita dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa kepemimpinan
natas kali ini termasuk gagal. Indikator yang saya pakai adalah banyaknya
penurunan kualitas maupun kuantitas anggota pada tahun ini. Kualitas yang saya
maksud adalah militansi, produktifitas, dan kewacanaan. Oleh karena itu, saya
sendiri menolak LPJ ini, jika indikator diterimanya LPJ adalah keberhasilan
kepemimpinan saya. Dengan ini juga saya patut diberi sanksi keorganisasian yang
nanti ketika mubs akan dibahas.
Untuk PU yang
selanjutnya jangan pernah mengulangi kesalahan yang sama. Perhatian kepada
anggota harus diperbesar, jangan terlalu berlarut-larut dalam masalah yang
kurang ideologis, tingkatkan motivasi berproduksi, jadi pendengar yang baik,
tapi juga jangan terlalu takut untuk bertindak. Terlalu terjebak dalam masalah
administrasi memang tidak baik, namun tidak ada salahnya natas lebih tertib
dalam hal tersebut. Pengkaderan adalah tugas kita bersama, bukan Cuma PU
ataupun litbang. Melihat nataser-nataser 2012 sama saja melihat secercah cahaya
di ruang gelap.
10.
Penutup
Ya,
memang benar kita keluarga. Namun kita bukan keluarga yang orientasinya hanya
bersenang-senang. Kita adalah teman. Ya, itu memang benar. Namun juga bukan
sekumpulan orang galau yang hanya disibukkan oleh permasalahan-permasalahan ecek-ecek nan sentimentil namun menguras
banyak energi. Natas adalah keluarga, pertemanan, persahabatan, dan organisasi yang
diikat oleh sebuah visi besar. Ideologi natas haruslah jelas, jurnalisme
transformatif. Jurnalisme yang menggerakkan. Jurnalisme yang membawa perubahan
keadaan menuju ke arah yang lebih baik. Ke keadaan dimana tidak ada ruang untuk
biaya kuliah yang mahal, ketidakhumanisan, pendidikan yang salah arah,
pemiskinan, sistem yang menindas dan ketidakadilan.
Jogjakarta, 25 Februari 2012, pukul
02.00
Buat semua nataser,
Langganan:
Postingan (Atom)