uy6truy

Langkah-langkahnya:

01. Masuk warnet dan pasang muka bego biar ga dicurigai operator
02. Pastikan selain box/bilik yang kita tempati masih ada box lain yang kosong. Biar ga dicurigai juga sih.
03. Usahakan cari tempat yang jauh dari op, supaya ga ketahuan box kamu kosong apa nggak.
04. Nyalakan kompi dihadapan anda bila masih dalam keadaan mati.
05. Saat masuk login screen, login aja seperti biasa.
06. Jalankan ZHider yang sudah disiapkan di disket/flashdisk. Kalo belom ada, cari aja pake google.
07. Setelah ZHider dijalankan langsung aja logout.
08. Naah, di login screen ini kita mulai aksi mendebarkan kita. Tekan Ctrl+Alt+Z.. Jreeeng, login screen telah menghilang !!!
09. Browsinglah sepuasnya, tapi tetap pastikan ada box lain yang kosong. Kan aneh kalau ada yang masuk warnet, dia lihat udah penuh. Padahal di billing server kelihatan masih ada yang belum login.
10. Kalo sudah puass tekan Ctrl+Alt+x untuk memunculkan kembali login screen yang menghilang entah kemana
11. Login seperti biasa dan browsing beberapa menit sampai penunjuk tarif sampai ke angka yang kita kehendaki. Ini supaya ga dicurigai.
12. Logout. SIapkan muka bego, lalu bayar tarif.

Cara ini lebih mudah dilalukan bila si operator ga terlalu kenal sama kamu. Apalagi bila si op sering keluyuran.

Ini beberapa hotkey ZHider yang bisa digunakan, untuk hotkey lainnya silakan baca file readme yang disertakan bersama zhider

CTRL+ALT+Z Menyembunyikan jendela aktif
CTRL+ALT+X Menampilkan kembali semua jendela yang disembunyikan
CTRL+ALT+L Menampilkan dialog zhider
CTRL+ALT+M Menampilkan kembali semua jendela yang disembunyikan, dan juga menutup zhider.

Kalo cara di atas ga bisa dilakuin, hentikanlah usahamu. Sesungguhnya perbuatan jahatmu tidak diridhai Tuhan
Kalo ketahuan langsung pertebal "muka bego"-mu. Misalnya bilang "Eh, kok jadi gini ya? Kemaren ga gini kok." Ato kata-kata lain, tergantung kreatifitas anda.

chaves

Terpilihnya Fernando Lugo Mendez sebagai Presiden Paraguay meningkatkan wacana global mengenai derasnya arus sosialisme baru yang sedang menerjang Amerika Latin setelah Teologi Pembebasan. Fenomena Amerika Latin itu menjadi topik diskusi terbatas harian ”Kompas” 5 Juli lalu dengan menghadirkan pembicara Martin Bhisu (Sekretaris Pribadi Fernando Lugo ketika masih menjadi uskup), Robert Bala (pemerhati Amerika Latin), Budiman Sudjatmiko (pemerhati isu geopolitik dan geoekonomi), dan Edu Dosi (pemerhati gerakan sosial). Hasil diskusi dirangkum dalam dua tulisan di halaman ini dan halaman 5.

Setelah terpana oleh Teologi Pembebasan, dunia kembali terentak oleh gemuruh gerakan sosialisme baru di Amerika Latin. Gerakan ”sosialisme dalam praktik” sedang menerjang jauh ke dalam sudut-sudut kawasan Amerika Latin.

Selama ini sosialisme hanya menjadi ideologi dan bahan retorika kaum elite yang hanya menciptakan kesadaran palsu, atau kesadaran naif dalam istilah Paulo Freire, yang menjauhkan prinsip itu dari kenyataan hidup rakyat sehari-hari.

Pergulatan Teologi Pembebasan telah melucuti dan membongkar kepalsuan sosialisme di tingkat elite dengan mengembalikannya kepada kemurnian praktik pada kehidupan rakyat sesuai dengan istilah itu dimaksudkan.

Teologi Pembebasan ibarat lahan gembur, yang memberi ruang bagi munculnya momentum penting yang langsung merekah ketika Hugo Chavez tampil di panggung politik Venezuela tahun 1998 dengan mengusung neososialisme. Tidak tanggung-tanggung, dalam tempo 10 tahun, sembilan negara Amerika Latin menganut sosialisme baru.

Gulungan gelombang neososialisme sudah menjangkau Venezuela, Brasil, Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan Paraguay. Spiritualitas sosialisme baru itu juga mulai terasa kencang di Kuba sebagai lahan kering penganut sosialisme ideologis.

Lokomotif gerakan ”sosialisme dalam praktik” terus menarik gerbong-gerbong baru. Gerakan sosialisme mendapat angin kuat di kawasan Amerika Latin, yang diduga akan membawa angin sepoi ke seluruh dunia.

Gerakan sosialisme baru di Amerika Latin termasuk fenomenal setelah entakan hebat Teologi Pembebasan yang berkembang sejak awal tahun 1970-an. Semula gerakan neososialisme menimbulkan sinisme di tengah proses deideologisasi global setelah komunisme dicampakkan di Uni Soviet awal tahun 1990-an.

Sempat muncul keraguan, jangan-jangan Chavez seorang demagog, pandai beretorika tentang sosialisme, tetapi sebenarnya tidak beda dengan tokoh populis, seperti Joseph Estrada di Filipina, yang penuh korup.

Bahkan Chavez dituduh berilusi, sedang mencari sensasi di tengah dunia yang sedang mendiskreditkan sosialisme setelah kehancuran Uni Soviet pada pengujung tahun 1990. Bagi yang terpaku kepada pemahaman sosialisme sebagai ideologi, pernyataan Chavez semula dinilai ketinggalan zaman.

Semua terperangah

Namun, di luar dugaan, Chavez yang mengusung neososialisme tiba-tiba memenangi pemilihan presiden Venezuela tahun 1998. Sulit dijelaskan mengapa seseorang yang menjual sosialisme sebagai ideologi kusam yang sudah dicampakkan meraih kemenangan pemilu.

Reaksi terperangah bertambah karena Chavez bukan datang dari lingkungan elite atau partai politik yang telah lama mendominasi kehidupan bangsa dan negara. Chavez justru datang dari pinggiran sebagai seorang prajurit pemberontak, tetapi kemudian bergerak ke tengah bersama kawanan rakyat yang mengandalkan kemandirian berdasarkan spiritualitas Teologi Pembebasan.

Kemandirian itu juga dilakukan dalam perekrutan kepemimpinan. Jika selama ini pemimpin datang atau didatangkan dari atas, dari lingkungan elite, kini pemimpin lahir dari kawanan mereka sendiri.

Pengalaman selama ini sudah sangat mengecewakan karena harapan perubahan yang diserahkan kepada kepemimpinan kaum elite dan partai-partai politik sering dikhianati, bahkan rakyat miskin senantiasa dijadikan korban di altar penindasan dan pengisapan penguasa.

Chavez termasuk salah satu pemimpin yang lahir dari kawanan rakyat kebanyakan. Tanpa dukungan modal, partai besar, dan media massa, Chavez dan pemimpin sosialis Amerika Latin dapat merangkak naik menjadi pemimpin nasional.

Sumber kekuatan satu-satunya terletak pada rakyat yang mampu menghimpun diri, yang semula menjadi kelompok penekan dan kemudian melakukan transformasi vertikal sebagai kekuatan politik dan basis suara pemilihan.

Gerakan politik dari bawah, dari akar, ini tak hanya merontokkan kemapanan kelompok status quo, tetapi juga menampilkan pemimpin yang memihak kepentingan rakyat secara nyata.

Pengalaman Amerika Latin selama 10 tahun memperlihatkan juga kejatuhan kelompok yang mapan bukan melalui jalur revolusi atau pemberontakan, tetapi melalui pragmatisme etis yang menekankan kesejahteraan rakyat banyak.

Segera terlihat, sosialisme baru yang dimotori Chavez terbukti bersifat organik, hidup, dan bermanfaat bagi masyarakat. Lebih menarik lagi, Chavez tidak lupa diri ketika berada tinggi di panggung kekuasaan. Sekalipun kekuasaan memabukkan yang sering membuat politisi lupa diri dan lupa rakyat, Chavez mampu menjaga komitmennya.

Secara regional, Chavez menjadi ikon gerakan sosialisme baru yang berorientasi kepada praktik. Namun, kiprah kepemimpinan Chavez juga mengundang ketidaksenangan kelompok yang mapan. Upaya menggulingkan Chavez terjadi tahun 2002, tetapi posisinya tak tergoyahkan karena rakyat mendukungnya.

Secara global, gerakan Chavez dan kawan-kawan menimbulkan perlawanan keras, terutama pada penganut kapitalisme dan neoliberalisme. Amerika Serikat sebagai kampiun kapitalisme dan liberalisme dibuat frustrasi oleh langkah Chavez, yang memang secara vokal mengecam kebijakan AS.

Pengaruh AS di kawasan itu pun terus dipersempit oleh gerakan sosialisme dalam praktik, yang telah mengepung Amerika Latin. Bunyi gemuruh gerakan neososialisme benar-benar sudah mengganggu adidaya AS.

pem

Amerika Latin tempoe doeloe. Camilo Torres, seorang pastor, sosiolog, dan gerilyawan, dibunuh pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di Bucaramanga pada 15 Februari 1966. Di Desa Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan, pada 11 Oktober 1976. Pastor Desa Pater John Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus) ditembak mati oleh seorang kopral karena mencoba menyelamatkan dua wanita yang dianiaya sang kopral dan kawan-kawannya. Pater Rutilio Grande SJ dibantai The White Warrior Union--pasukan penjagal manusia dan pelindung tuan tanah--di sebuah desa di San Salvador, 12 Maret 1977.

Kisah di atas dikutip dari buku Teologi Pembebasan susunan Fr. Wahono Nitiprawiro. Masih banyak lagi para pengabar Injil di benua yang 90% penduduknya menganut Katolik itu menghadapi risiko kematian, karena berpihak atau bahkan bergabung dengan rakyat Amerika Latin yang bergolak untuk membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.

Mereka, para pengabar Injil yang tewas itu, adalah para penganut Teologi Pembebasan, sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial. Paham ini mulai mengagetkan kalangan gereja dan intelektual di Eropa dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez --pastor dari Peru-- menerbitkan buku Teologia de la Liberacion pada 1971. Paham ini menjadi kontroversial karena memiliki metode pendekatan yang tak biasa dilakukan kalangan gereja ketika itu, yakni pendekatan marxis yang radikal.

Secara ringkas, apa yang dimaksud dengan paham itu sebenarnya adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.

Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.

Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.

Kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Dalam literatur sosiologi dan ekonomi politik, penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan di Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir baru di bidang sosiologi dan ekonomi politik. Misalnya Andre Gunder Frank--orang Amerika Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin--dan Fernando H. Cardoso. Dengan menggunakan pendekatan neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi (ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat.

Bantuan negara maju dalam proses modernisasi --yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada negara maju-- juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga. Mereka para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan para elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam pendekatan marxis.

Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.

Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk itu gereja memelopori upaya pembebasan tingkat intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, Kolombia (1937), Universitas Katolik di Lima (1942), di Rio de Janeiro dan Sao Paulo (1947), Porto Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960), dan lain-lain.

Bersamaan dan berkaitan dengan pendirian universitas Katolik, mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba, Argentina, Uruguay, Kosta Rika, Peru, dan Bolivia. Organisasi pemuda aksi Katolik tumbuh dengan cepat. Di Argentina, misalnya, pada 1934, jumlah anggotanya baru 600 orang. Tapi tahun 1953, sudah mencapai 8000 orang. Di Brasil, pada 1953 baru 15.000. Tahun 1961 meningkat ke angka 120.000 orang. Organisasi buruh juga makin populer. Pada 1954, baru ada empat negara yang mempunyai Serikat Buruh Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir semua negara Amerika Latin mempunyai Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta Rika, Guatemala, dan Kuba. Total ada 23 Serikat Buruh Nasional dengan anggota militan sekitar satu juta orang. Menurut buku Teologi Pembebasan, itu ada hubungannya dengan upaya gereja untuk menciptakan kaum awam yang militan.

Untuk melembagakan kesadaran baru di bidang teologi itu, para uskup Amerika Latin membentuk Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)--sidang para uskup Amerika latin--Di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1955. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak diterapkannya "sistem kolegialitas antar uskup" dan ditinggalkannya sistem patronato yang telah diterapkan sejak abad ke-13. Dalam sistem patronato, gereja berada di bawah kekuasaan penguasa. Para uskup cenderung berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik, walaupun penguasa itu menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem kolegialitas, gereja tak lagi berada di bawah payung penguasa politik. Mereka dapat bergerak bebas untuk menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini mengantar mereka untuk melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat tertindas, walau dengan risiko dimusuhi penguasa.

Gerakan pembebasan itu makin gencar setelah Konsili Vatikan II --sidang resmi para uskup sedunia-- pada 1962 memerintahkan agar Gereja Katolik memikirkan masalah-masalah aktual, umpamanya, turut memajukan kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian dunia.

Apa yang dicanangkan Konsili Vatikan II tersebut menjadi salah satu alasan para uskup Amerika Latin untuk menggelar Sidang Celam II di Medellin, Kolombia, pada 1968. Ringkasnya, sidang itu menyimpulkan bahwa penindasan di Amerika Latin telah menjelma menjadi kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan terjadi di segala bidang. Maka gereja harus berinisiatif dan bertanggung jawab untuk mengembangkan kebudayaan, berperan serta dalam kehidupan sosial politik.

Tiga tahun kemudian, 1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi Pembebasan-- karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru itu. Buku ini menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang ditempuh para uskup Amerika Latin.

Sidang Celam II dan buku Gutierrez mendorong gereja untuk makin terlibat dalam perlawanan rakyat. Sebaliknya, rasa permusuhan penguasa dan orang-orang kaya terhadap gereja kian tajam. Seiring dengan meluasnya paham Teologi Pembebasan, gencar pula suara yang menuduh para pengikut teologi ini menerapkan ajaran marxis yang merekomendasikan perjuangan kelas dan perubahan radikal melalui revolusi kekerasan. Penggunaan analisis marxis "perjuangan kelas" dan "perubahan struktur" oleh para teolog Teologi Pembebasan, termasuk Gutierrez, dianggap para kritikus sebagai "dosa terhadap Kristianitas".

Namun para tokoh Teologi Pembebasan membantah tuduhan tersebut. Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang ikut bergerilya dan tewas, misalnya, mengaku sebenarnya tak ingin bergabung dengan para gerilyawan. "Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi dengan kekerasan. Manakala rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi diri, kelas penguasa cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan kekerasan. Kita tak ingin kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang kita cita-citakan adalah bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan rakyat," katanya pada 1965.

Bahwa ia akhirnya menggunakan kekerasan, bergabung dengan kelompok gerilyawan komunis, memanggul senjata, menurutnya karena tak ada pilihan lain. Pemerintah dan aparat militer tak dapat diajak berbicara. Penguasa hanya mempunyai satu jalan: senjata. Tapi Camilo menolak bila dituduh komunis. "Saya tak pernah akan bergabung ke dalam aparatnya, dan saya tak hendak menjadi komunis, baik sebagai warga Kolombia, sebagai sosiolog, sebagai orang Kristen, maupun sebagai pastor. Namun saya bersedia berjuang bersama-sama mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni melawan dan menentang oligarki dan dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan kembali ke tangan rakyat," katanya pada September 1965.

Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxis, tapi menolak bila dituduh "berdosa" terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang mendalami tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos, tetap bersikap kritis terhadap kekurangan dan bahaya marxis.

Bagi Gutierrez, peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan tak adil dan praktek kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Menurut Gutierrez, "perjuangan kelas" yang dikumandangkan oleh Marx bukan hal baru bagi penganut Kristiani. Santo Lucas yang hidup sebelum Marx, kata Gutierrez, telah menyuarakan perjuangan kelas. Transformasi struktur, perubahan struktur kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan rakyat banyak, bukanlah monopoli Marx. Injil, Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu menganjurkannya. Untuk memperkuat argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat dalam Injil. Misalnya dari Injil Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain berbunyi: "Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang-orang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa."

Tak lupa ia menafsirkan makna kelahiran Yesus sebagai Sang Pembebas. Yesus, menurut Gutierrez, lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut, ia menganggap tak ada salahnya meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan tugas sosial gereja. "Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya, melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat kita hidup. Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang lain," katanya.

Namun, Gutierrez tetap bersikap kritis terhadap marxis dan menempatkan Kristianitas sebagai pedoman hidup yang lebih unggul ketimbang marxis. Keunggulan Kristianitas, katanya, terletak pada kemampuannya melihat kemenangan setelah kematian. Sementara tentang maut, marxisme tak punya jawaban.

Pembenaran Gutierrez tersebut tak mengurangi kecurigaan berbagai pihak terhadap gerakan Teologi Pembebasan. Tahun 1984, Vatikan mengeluarkan instruksi yang melarang para imam Katolik terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menggunakan pendekatan marxis. Bahkan sebelum itu, dari kalangan para uskup Amerika Latin yang tergabung dalam Celam sendiri sudah terdengar kritik terhadap penerapan marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los Angeles, Meksiko, pada 1979, mereka mengecam marxisme seraya mengutuk kapitalisme. Menurut mereka, kedua sistem itu membuat manusia menjadi budak ambisi kekayaan, kekuasaan, pengagungan kepentingan umum negara, seks, dan kenikmatan duniawi yang menggerogoti hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, mereka tetap mengimbau untuk menggalakkan gerakan "umat basis" yang sudah dilakukan sebelumnya.

Toh, semangat Teologi Pembebasan terlanjur menjalar ke berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga yang mayoritas penduduknya beragama Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre, penulis buku Touching Ground, Taking Root: Theological and Political Reflections on The Phillipine Struggle, menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi Pembebasan itu terlihat pada gerakan massa yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986. Umat Kristiani, katanya, terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan perubahan fundamental di bidang ekonomi dan politik.

Di Indonesia, menurut Budhy Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina, bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara, katanya, justru pengaruh teori dependensi --pemikiran di bidang ekonomi-- yang pernah dipakai sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an.

..."Gereja Katolik Indonesia tak mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin itu," ujar Romo Purbo.

Begitu pula menurut Romo Ismartono. "Tapi bukan berarti gereja menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat," kata Romo Ismartono. Menurutnya, garis keterlibatan gereja di Indonesia dalam solidaritas sosial berpegang pada Instruksi Mengenai Kebebasan dan Pembebasan Kristiani yang dikeluarkan Tahta Tinggi Vatikan yang antikekerasan. "Butir-butir instruksi itu berbeda dengan yang ada pada Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Gereja lebih memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, yang sering memakan korban dan akhirnya melahirkan rezim totaliter," lanjut Romo Ismartono kepada J. Eko Setyo Utomo dari Gatra.

Diambil dari Gatra Nomor 42 Tahun II, 31 Agustus 1996.

Hampir semua negara Amerika Latin selama 20 tahun ini didominasi Teologi Pembebasan. Paham ini adalah satu upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan penafian harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial, misalnya. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan tanggung jawab agama itu seperti apa? Apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural?

Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan lewat bukunya, Teologia de la Liberacion, 1971. Buku itu menjadi pemicu diskusi yang lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Sguondo dan John Sabrino, adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu pemikiran Teologi Pembebasan menjadi kuat. Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin.

Analisis sosial yang paling efektif dan sering digunakan dalam Teologi Pembebasan adalah analisis marxian. Dengan pendekatan marxisme akan diketahui siapa yang diuntungkan atau dirugikan sistem sosial itu. Karena itu tokoh Teologi Pembebasan sangat cocok dengan analisis marxian ini.

Ketika para tokoh Teologi Pembebasan di angkatan laut mengalami tekanan politik, gerakannya justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Filipina. Yang paling ekspresif memang di Filipina. Boleh dibilang people power yang menjatuhkan Marcos adalah satu corak dari Teologi Pembebasan. Karena Teologi Pembebasan menekankan pada people power dan kedaulatan rakyat.

Di Indonesia, saya tak melihat Teologi Pembebasan masuk lewat Timor Timur. Sebab wilayah ini baru berintegrasi. Yang jelas, berbarengan dengan munculnya LSM-LSM, pada 1970-an muncul pemikiran kritis sebagai counter terhadap teori pembangunan. Beberapa tokoh LSM mensponsori masuknya teori tentang pembebasan dari Amerika Latin. Misalnya Adi Sasono dan Dr. Sritua Arif. Lihat saja bukunya, Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan.

Yang dilakukan Romo Sandyawan sebetulnya empowering orang-orang yang termarjinalisasi. Saya tak tahu apakah ia menggunakan pandangan Teologi Pembebasan. Tapi yang menarik adalah concern-nya sebagai agamawan terhadap realitas masyarakat dan gerakan empowerment.

Di kalangan Islam, pada 1980-an, subur pemikiran tentang Teologi Pembebasan. Sehingga suatu ketika Karl A. Steinbreenk, teolog Katolik, kaget melihat Teologi Pembebasan dibicarakan dengan bersemangat di LP3ES oleh anak muda muslim, seperti Fachry Ali dan Komaruddin Hidayat, dengan figurnya, M. Dawam Rahardjo. Ia heran Teologi Pembebasan dibicarakan dengan sangat terbuka di kalangan Islam, sementara di kalangan Katolik dibicarakan sangat hati-hati.
Gerakan mahasiswa pada era rezim diktator Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit pula yang memberikan label bahwa gerakan liberal mulai mengembang. Stigmatisasi kaum radikal mulai menjamur pada kalangan bawah (masyarakat biasa) dan menebarkan wahyu pemberontakan, juga hal yang sempat menjadi mitos terbesar dalam setiap gerakan mahasiswa. Namun tidak kalah banyaknya opini, bahwa mahasiswa Indonesia yang radikal dan progressiv dari berbagai lingkungan sosial serta lintas kultur mulai memainkan perannya, fungsi sosialnya melalui gerakan-gerakan pembebasan.

Linkungan sosial di Indonesia mayoritas bangsa Indonesia yang religiusitasnya tinggi, menjadikan gerakan mahasiswa dengan misi pembebasannya dari penindasan totaliter Soeharto mendapatkan stereotip positif. Khususnya bagi umat Islam. Terideologisasi oleh teologi pembebasan. Tetapi di sini tidak berupaya untuk meng-klaim, bahwa gerakan penggusuran simbol orde baru (Soeharto) yang represif itu merupakan hasil kesadaran umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia.

Namun bila berbicara formasi sosial yang menindas dari rezim Soeharto, berekses lebih pada pemeluk Islam dan membentuk bola salju atas pegerakan pembebasan yang digulirkan oleh intelektual muda Indonesia merupakan bentuk geneologis dari violence yang dilakukan negara (state). Adanya sosial gap, kaya-miskin dan tumbuhnya konflik horisontal adalah, anak kandung dari kebijakan pemerintah maupun negara yang timpang. Tidak adanya pemerataan kesejahteraan sosial.

Kemiskinan absolut yang bersumber pada minimnya pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan relatif yang merupakan akibat pertumbuhan ekonomi, menjadi abstraksi sosial yang nyata di Indonesia. Melalui “ideologi” pembangunan nasional, rezim Soeharto membangun kemiskinan dan krisis multi dimensional hingga sekarang. Kemiskinan adalah, sesuatu bisa (racun) disatu sisi dan memberi madu pada sisi lain.

Monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme sedari sang diktator Soeharto sampai saat ini merupakan komoditas yang surplus. Relasinya dengan tekstual teologi pembebasan yang bersinggungan dengan wacana agama sangat jelas yaitu, pembebasan aspek atau dimensi sosial dari teologi pembebasan melarang keras adanya eksploitasi dan manipulasi diberbagai bidang, baik secara fisik maupun psikis oleh dan/atau siapapun.

Bentangan relevansi dalam tulisan ini diberikan dapatlah disisipkan contoh seperti, dalam bidang ekonomi praktek riba dan monopoli yang mengedepankan nilai lebih dilarang keras (Qs. Al Baqarah 275-278). Segala bentuk zakat, infaq dan sedekah merupakan sugesti yang baik dan benar agar manusia tidak teralienasi atas dirinya dari lingkungan sekitarnya dan tidak mengadakan penimbunan harta yang mengakibatkan surplus yang pada akhirnya secara langsung mengeksploitasi manusia lainnya.

Hal lainnya yang dapat dijadikan pijakan identifikasi nilai-nilai teologi pembebasan yaitu, manusia memiliki hak untuk hidup, manusia memiliki hak untuk bereproduksi, manusia memiliki hak untuk berpikir bebas dan manusia memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Empat pointer ini merupakan nilai-nilai teologi pembebasan dalam ajaran agama Islam yang mungkin juga merupakan ajaran agama-agama lain di dunia.

Ada atau tidaknya korelasi antara pergerakan kaum intelektual muda atau mahasiswa dengan teologi pembebasan masih perlu dicari validitasnya dan kebenarannya. Namun jikalau berbicara humanitas, yang lekat juga dengan ajaran agama yang menjadi nilai-nilai teologi pembebasan dari pergerakan pembebasan untuk menciptakan perubahan sosial, yang dilancarkan mahasiswa bersama rakyat mungkin bukanlah hubungan yang insidental pula.

Intinya perubahan harus tetap ada, apapun alasannya dan seperti apa perubahan yang menjadi kebutuhan mahasiswa ? Perubahan yang mendasar, Revolusi Sosial !!!

Tahun 1980-an memang puncak kesuburan pemikiran pembebasan di kalangan Islam Indonesia. Mungkin suasana sosial politiknya mendukung ke arah sana. Tapi pada 1990-an, gerakan ini mulai merosot, terutama setelah ICMI berdiri. Sebab Teologi Pembebasan pada akhirnya akan merefleksikan struktur kenegaraan, sementara ICMI berkepentingan dengan struktur.

Di banyak kalangan Katolik Indonesia, Teologi Pembebasan mungkin merupakan wacana keagamaan yang sangat mencerahkan dan memberi jalan bagaimana agama bisa terlibat dalam proses sosial. Keterlibatan seorang romo dalam upaya menguatkan orang marjinal, saya kira, merupakan bentuk Teologi Pembebasan. Tapi mereka sadar betul sulit mempraktekkan Teologi Pembebasan karena mereka minoritas.

Teologi Pembebasan hanya kuat di kalangan Jesuit. Karena sebagian besar yang concern terhadap pergumulan sosial adalah pastor Jesuit, seperti Romo Sandy. Dan umumnya tokoh-tokoh Teologi Pembebasan di Amerika Latin adalah pastor Jesuit.

tugas

Name : Gregory Martia Suhartoyo
Age : 23
Height : 166 cm
weight : 56 kg
Religion : Muslim
Occupation : newspeper journalist
Hobbies, interest and leisure activities : writing short stories, and reading books
pets : snake – phyton
likes : politics
dislikes : Shopping in the mall
Favorite holiday : swimming in the sea
would like a partner who : likes politic, politician, has sense of humor.
Hopes for the future : To be a general chief in the place that he work now.












Name : Sita Anggraeni
Age : 14
Height : 156 cm
weight : 48 kg
Religion : Catholic
Occupation : Student of senior high school
Hobbies, interest and leisure activities : reading novels, singing, playing piano.
pets : dog
likes : hunting new clothes
dislikes : Snake
Favorite holiday : Shopping in mall
would like a partner who : friendly, cheerful, have a dog.
Hopes for the future : To become a successful dog farmer.












Name : Maya Sari
Age : 19
Height : 167 cm
weight : 53 kg
Religion : Catholic
Occupation : Student in Sanata Dharma University
Hobbies, interest and leisure activities : travelling
pets : turtle
likes : Journalistic
dislikes : spider
Favorite holiday : traveling in other country
would like a partner who : Music lover, has sense of humor
Hopes for the future : to be newspaper journalist.







Leo Agung Bayu W
081214043