lagi

Untuk memahami teologi pembebasan yang memberi kaitan antara Marx dengan teologi Katolik maka ucapan Marx dalam “The Holy Family” bisa dijadikan rujukan. Marx mengatakan : “Radikal berarti menangani sesuatu sampai ke akar-akarnya. Tetapi bagi manusia akar itu adalah dirinya sendiri.....Kritik atas agama berakhir pada doktrin bahwa manusia adalah mahluk tertinggi bagi manusia. Karenanya, hal ini berakhir dengan kategori imperatif untuk mencampakkan semua unsur yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang tertindas, diperbudak, dicampakkan dan keji.......”

Dalam tataran ini Marx berbicara tentang eksistensi kemanusiaan, wilayah perhatian Marx tidak saja melulu pada problem kapital tapi sebelum masuk ke problem Kapital, Marx menganatomi lebih dulu problem-problem Eksistensi manusia. Maka Marxisme juga mengarahkan bagaimana “Manusia sebagai kebaikan tertinggi dan perjuangan untuk mengubah hubungan-hubungan sosial yang menindasnya”

Pada titik ini bertemunya antara kekuatan pemikiran Marx dengan dasar-dasar teologi keagamaan. Semua agama selalu memberikan jawaban atas kemanusiaan dari sudut dasar spiritualitas, kewajiban-kewajiban luhur manusia di muka bumi. Marx sendiri memang membatasi dirinya pada sisi Materialisme. Disini bukan berarti Marx tidak paham masalah metafisika dan hubungannya dengan Ketuhanan, tapi Marx memang sengaja berhenti pada tapal batas antara Materialisme dengan Immaterialisme untuk memfokuskan diri pada “Bagaimana terbentuknya sejarah masjarakat, guna menganatomi bagaimana penindasan manusia atas manusia lainnya bisa terjadi”

Setiap filsuf memiliki imajinasinya sendiri atas manusia ideal. Plato misalnya mengidealkan seorang manusia tertinggi pada “Manusia yang berbakat sebagai pemimpin namun berpikiran filsuf dan berjiwa halus”. Pada Aristoteles “Kemanusiaan ditempatkan sebagai individu yang mencari terus menerus kebenaran” dalam konsepsi Islam sendiri “manusia sempurna digambarkan dalam Insanul Kamil, sebuah kemanusiaan yang terbentuk dalam pengalaman spiritual dan pengalaman material, Kemanusiaan yang tahu akan jalan Tuhan namun juga tahu jalan dunia yang benar, Dimana kemanusiaan bisa terbentuk dari sepanjang surah Al Fatihah, manusia yang sadar sejarah dan berjalan di jalan yang lurus”. Nietszche, menggambarkan kemanusiaan yang sempurna, ialah kemanusiaan yang super. Uebermensch adalah manusia yang menjalani semua cobaan-cobaan hidup sehingga ia sadar akan batas eksistensinya dan ketika eksistensi itu menyatu dalam kesadaran maka kemanusiaan akan mendapatkan esensinya. Marx sendiri memiliki gambaran kemanusiaan yang lebih realistis dan berkembang pada dasar-dasar psikologis individu yang kemudian ditarik ke dalam analisanya atas terbentuknya sejarah masjarakat, terbentuknya anatomi atas penindasan dan sumber dari segala sumber masalah atas manusia. Bagi Marx : Manusia ideal adalah manusia yang bebas dan dibebaskan oleh segala bentuk keterasingan, manusia ini akan membangun kreativitasnya tanpa beban apa-apa. Manusia yang berjalan di dunia dengan bakatnya, dengan talentanya dan tidak ada struktur yang menindas. Awal mula keterasingan manusia, menurut Marx adalah ketika manusia menciptakan benda dan benda itu kemudian mengantarkan manusia pada keterasingan-keterasingan yang disetiap dimensinya membentuk keterasingan lain, seperti Keterasingan ekonomi, keterasingan religius, keterasingan spiritual dan keterasingan kemanusiaan atau humanisme. Jalan utama dari pemecahan problem-problem keterasingan itu adalah dimulai dengan memecah keterasingan ekonomi. Marx melihat masalah ‘hak milik’ menjadi akar dari penyebab keterasingan manusia. “untuk menemukan kembali kemanusiaannya yang terasing, Marx mencoba menganatomi bagaimana hak milik bisa menjadi manusia terasing dari dirinya”.

Keterasingan manusia pada hal religius yang disoroti oleh Engels dalam melihat Tuhan sebagai gambaran citra manusia, ini artinya Tuhan disepakati sebagai ciptaan pikiran manusia, tidak berasal dari Marx. Engels-lah yang benar-benar mengambil jarak antara pemikiran Marx yang abai terhadap Tuhan karena masalah Materialisme Historis menjadi Pemikiran yang menganggap “Tuhan Tidak Ada” hal ini kemudian diperkuat oleh Lenin dengan menyatukan anggapan bahwa Agama sama saja dengan Kapitalisme, adalah sumber dari keterasingan manusia atas ciptaannya. Gereja Katolik jelas sebagai institusi keagamaan berdiri di barisan paling depan dalam melawan Marxisme Leninis. Banyak perang terjadi untuk sekedar pertaruhan mana yang benar dan mana yang salah dalam teori yang amat bias ini. Bisa dikatakan bias karena Marx sendiri “Hanya membatasi masalah pemecahan kemanusiaan dengan membatasi pada persoalan-persoalan sejarah, dan persoalan sejarah adalah persoalan perkembangan masjarakat yang harus disepakati sebagai persoalan Materialisme Dialektika Historis jadi Marx tidak masuk ke dalam alam metafisika yang tidak berkenaan dengan alam material”. Pada tahun 1971 Paus Paulus VI menyatakan fatwanya dalam Octogesima Adveniens bahwa : “Marxisme adalah ideologi yang bertentangan dengan Iman” Namun keputusan gereja katolik ini justru mendapati arus balik dari para pastor yang memperhatikan bagaimana teori Marx seharusnya bekerja kemudian muncullah gagasan teori teologi pembebasan yang inspirasinya bersumber dari Marxisme. Di mana-mana muncul “Kiri Katolik” di Inggris Dennys Turner berkata “Bahwa seorang Katolik tak hanya dapat menjadi Marxis, tetapi seharusnya menjadi Marxis” Gerakan meminati Marx di kalangan Gereja juga berlangsung di Filipina, seorang pastor Filipina, Conrado Balweg berkata dalam sebuah wawancara “Marxisme bukan dogma; ia cuma perangkat ilmiah yang bisa dipakai untuk menganalisa masjarakat. Melalui Marxisme anda bisa memahami agama dengan lebih baik; dalam hubungannya dengan massa. Di sisi lain keduanya berbeda : yang satu sebagai alat analisa dan yang lainnya keadaan ideal yang dicita-citakan manusia. Lebih jauh lagi, apabila kepentingan Gereja ditujukan untuk membantu orang miskin dan rakyat tertindas, maka diantara Marxisme dan Kekristenan tak ada kontradiksi keduanya berada di pihak yang sama”.

Teori pembebasan juga bisa dikatakan berpengaruh di Indonesia terutama pada tahun 1980-an. Masuknya gagasan Pembebasan ini tak lepas dari dua hal. Pertama, terbongkarnya kesadaran palsu intelektual Indonesia yang dulu mendukung Orde Baru justru dari terjadinya Revolusi Mahasiswa di Perancis yang mengenalkan ‘Kesadaran Kiri Baru’ dan Kedua, adalah berkembangnya teologi pembebasan Katolik terutama di Timor-Timur yang menjadi sumber dari rembesnya ajaran Pembebasan Latin lalu justru dikembangkan oleh intelektual-intelektual Islam yang jauh lebih berani ketimbang intelektual Katolik di Indonesia yang masih terpengaruh ajaran Pater Beek. Di kalangan Islam saya membaca banyak tulisan-tulisan teologi pembebasan itu dengan membahas Marxisme secara rinci dan dalam, terutama bahasan dari Dawam Rahardjo, Fachry Ali dan Gus Dur di majalah Prisma. Gagasan pembebasan inilah yang kemudian berkembang menjadi pemikiran independen secara ekonomis dimana melahirkan pemikir ekonomi kerakyatan paling berpengaruh yaitu : Adi Sasono.

Apa yang terjadi di Paraguay dan kemudian meluas ke seluruh penjuru dunia, sehingga mengepung Amerika Serikat sebagai biang masalah problem-problem kemanusiaan adalah ajaran Marx yang selalu relevan dalam konteks sejarah. Karena ajaran Marx itu memuat empat hal yang selalu relevan selama penindasan dan susunan masjarakat yang tidak adil terjadi.

Pertama, Marxisme adalah teori yang monistik yang memegang kunci penjelasan mengenai segala sesuatu yang penting dalam organisasi masjarakat dan mengenai segala sesuatu yang mungkin dalam sejarah. Orang-orang yang dibingungkan oleh berbagai peristiwa merasa menemukan suatu doktrin yang memegang kunci sejarah. Dari sinilah kita bisa memanfaatkan pengetahuan yang dikenalkan Marx yaitu : Metode Dialektika dalam memahami sejarah. Materialisme Historis Dialektika bukanlah dogma tapi alat analisa bagaimana sejarah bekerja bagaimana susunan masjarakat mengalami timbal baliknya.

Kedua, dalam Marxisme seluruh teori-teorinya terkandung suatu ekspresi harapan. Keadaan masjarakat yang seputus asa apapun, maka tetap terkandung harapan. Runtuhnya Orde Baru dan jatuhnya Suharto ke dalam lembah kehinaan adalah sebuah ekspresi harapan yang termaterialisasi oleh bangsa Indonesia untuk usahanya membebaskan dirinya dari struktur masjarakat tertindas menuju masjarakat yang dibebaskan. Perjuangan ini akan terus berlanjut selama susunan masjarakat tidak memberikan ruang bagi pembebasan manusia. Dan kunci dari semua itu adalah harapan.

Ketiga, Marxisme memberikan kepercayaan akan kebebasan. Di negara-negara yang diperintah oleh kaum Marxis, dimana represif terjadi terus menerus, rakyatnya pun masih percaya bahwa suatu hari kebebasan akan diberikan sesuai dengan cita-cita.

Keempat, terdapat unsur-unsur kebenaran dalam Marxisme, betapapun kaburbnya ia membeberkan beberapa peristiwa dan fakta sosial yang khususnya menyangkut hakikat masjarakat industri, Marxisme kerap menyodorkan analisis yang tajam terhadap masjarakat modern.

Teologi Pembebasan merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan. Mereka mempertanyakan seperti apa tanggung jawab agama dan apa yang harus dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural.
Dan menjadi manusia ideal dalam konteks Marx : Terwujudnya manusia ideal sosialis lebih merupakan proses dan bukan momen yang tiba-tiba. Demikian juga terwujudnya masjarakat yang tidak menindas satu sama lain, disini merupakan proses terus menerus dari kerja sejarah.

Terpilihnya Fernando Lugo Mendez sebagai Presiden Paraguay
> meningkatkan wacana global mengenai derasnya arus sosialisme baru
yang
> sedang menerjang Amerika Latin setelah Teologi Pembebasan. Fenomena
> Amerika Latin itu menjadi topik diskusi terbatas harian
”Kompas” 5
> Juli lalu dengan menghadirkan pembicara Martin Bhisu (Sekretaris
> Pribadi Fernando Lugo ketika masih menjadi uskup), Robert Bala
> (pemerhati Amerika Latin), Budiman Sudjatmiko (pemerhati isu
> geopolitik dan geoekonomi), dan Edu Dosi (pemerhati gerakan sosial).
> Hasil diskusi dirangkum dalam dua tulisan di halaman ini dan
halaman 5.
>
> Setelah terpana oleh Teologi Pembebasan, dunia kembali terentak oleh
> gemuruh gerakan sosialisme baru di Amerika Latin. Gerakan
”sosialisme
> dalam praktik” sedang menerjang jauh ke dalam sudut-sudut kawasan
> Amerika Latin.
>
> Selama ini sosialisme hanya menjadi ideologi dan bahan retorika kaum
> elite yang hanya menciptakan kesadaran palsu, atau kesadaran naif
> dalam istilah Paulo Freire, yang menjauhkan prinsip itu dari
kenyataan
> hidup rakyat sehari-hari.
>
> Pergulatan Teologi Pembebasan telah melucuti dan membongkar
kepalsuan
> sosialisme di tingkat elite dengan mengembalikannya kepada kemurnian
> praktik pada kehidupan rakyat sesuai dengan istilah itu dimaksudkan.
>
> Teologi Pembebasan ibarat lahan gembur, yang memberi ruang bagi
> munculnya momentum penting yang langsung merekah ketika Hugo Chavez
> tampil di panggung politik Venezuela tahun 1998 dengan mengusung
> neososialisme. Tidak tanggung-tanggung, dalam tempo 10 tahun,
sembilan
> negara Amerika Latin menganut sosialisme baru.
>
> Gulungan gelombang neososialisme sudah menjangkau Venezuela, Brasil,
> Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan Paraguay.
> Spiritualitas sosialisme baru itu juga mulai terasa kencang di Kuba
> sebagai lahan kering penganut sosialisme ideologis.
>
> Lokomotif gerakan ”sosialisme dalam praktik” terus menarik
> gerbong-gerbong baru. Gerakan sosialisme mendapat angin kuat di
> kawasan Amerika Latin, yang diduga akan membawa angin sepoi ke
seluruh
> dunia.
>
> Gerakan sosialisme baru di Amerika Latin termasuk fenomenal setelah
> entakan hebat Teologi Pembebasan yang berkembang sejak awal tahun
> 1970-an. Semula gerakan neososialisme menimbulkan sinisme di tengah
> proses deideologisasi global setelah komunisme dicampakkan di Uni
> Soviet awal tahun 1990-an.
>
> Sempat muncul keraguan, jangan-jangan Chavez seorang demagog, pandai
> beretorika tentang sosialisme, tetapi sebenarnya tidak beda dengan
> tokoh populis, seperti Joseph Estrada di Filipina, yang penuh korup.
>
> Bahkan Chavez dituduh berilusi, sedang mencari sensasi di tengah
dunia
> yang sedang mendiskreditkan sosialisme setelah kehancuran Uni Soviet
> pada pengujung tahun 1990. Bagi yang terpaku kepada pemahaman
> sosialisme sebagai ideologi, pernyataan Chavez semula dinilai
> ketinggalan zaman.
>
> Semua terperangah
>
> Namun, di luar dugaan, Chavez yang mengusung neososialisme tiba-tiba
> memenangi pemilihan presiden Venezuela tahun 1998. Sulit dijelaskan
> mengapa seseorang yang menjual sosialisme sebagai ideologi kusam
yang
> sudah dicampakkan meraih kemenangan pemilu.
>
> Reaksi terperangah bertambah karena Chavez bukan datang dari
> lingkungan elite atau partai politik yang telah lama mendominasi
> kehidupan bangsa dan negara. Chavez justru datang dari pinggiran
> sebagai seorang prajurit pemberontak, tetapi kemudian bergerak ke
> tengah bersama kawanan rakyat yang mengandalkan kemandirian
> berdasarkan spiritualitas Teologi Pembebasan.
>
> Kemandirian itu juga dilakukan dalam perekrutan kepemimpinan. Jika
> selama ini pemimpin datang atau didatangkan dari atas, dari
lingkungan
> elite, kini pemimpin lahir dari kawanan mereka sendiri.
>
> Pengalaman selama ini sudah sangat mengecewakan karena harapan
> perubahan yang diserahkan kepada kepemimpinan kaum elite dan
> partai-partai politik sering dikhianati, bahkan rakyat miskin
> senantiasa dijadikan korban di altar penindasan dan pengisapan
penguasa.
>
> Chavez termasuk salah satu pemimpin yang lahir dari kawanan rakyat
> kebanyakan. Tanpa dukungan modal, partai besar, dan media massa,
> Chavez dan pemimpin sosialis Amerika Latin dapat merangkak naik
> menjadi pemimpin nasional.
>
> Sumber kekuatan satu-satunya terletak pada rakyat yang mampu
> menghimpun diri, yang semula menjadi kelompok penekan dan kemudian
> melakukan transformasi vertikal sebagai kekuatan politik dan basis
> suara pemilihan.
>
> Gerakan politik dari bawah, dari akar, ini tak hanya merontokkan
> kemapanan kelompok status quo, tetapi juga menampilkan pemimpin yang
> memihak kepentingan rakyat secara nyata.
>
> Pengalaman Amerika Latin selama 10 tahun memperlihatkan juga
kejatuhan
> kelompok yang mapan bukan melalui jalur revolusi atau pemberontakan,
> tetapi melalui pragmatisme etis yang menekankan kesejahteraan rakyat
> banyak.
>
> Segera terlihat, sosialisme baru yang dimotori Chavez terbukti
> bersifat organik, hidup, dan bermanfaat bagi masyarakat. Lebih
menarik
> lagi, Chavez tidak lupa diri ketika berada tinggi di panggung
> kekuasaan. Sekalipun kekuasaan memabukkan yang sering membuat
politisi
> lupa diri dan lupa rakyat, Chavez mampu menjaga komitmennya.
>
> Secara regional, Chavez menjadi ikon gerakan sosialisme baru yang
> berorientasi kepada praktik. Namun, kiprah kepemimpinan Chavez juga
> mengundang ketidaksenangan kelompok yang mapan. Upaya menggulingkan
> Chavez terjadi tahun 2002, tetapi posisinya tak tergoyahkan karena
> rakyat mendukungnya.
>
> Secara global, gerakan Chavez dan kawan-kawan menimbulkan perlawanan
> keras, terutama pada penganut kapitalisme dan neoliberalisme.
Amerika
> Serikat sebagai kampiun kapitalisme dan liberalisme dibuat frustrasi
> oleh langkah Chavez, yang memang secara vokal mengecam kebijakan AS.
>
> Pengaruh AS di kawasan itu pun terus dipersempit oleh gerakan
> sosialisme dalam praktik, yang telah mengepung Amerika Latin. Bunyi
> gemuruh gerakan neososialisme benar-benar sudah mengganggu adidaya
AS.
>

Berkenaan dengan upaya menelusuri teologi transformatif ini, agaknya kita bisa menengok ke belahan selatan Benua Amerika yang didominasi kultur Katholik. Di sana muncul sebuah model beragama, lebih tepatnya model berteologi, yang dipandang baru sekaligus dinilai sangat relevan dengan kebutuhan umat manusia dewasa ini yang secara umum terbelit kemiskinan dan ketertindasan. Itulah Teologi Pembebasan. Teologi pembebasan bisa dikategorikan transformatif, karena ia menjembatani ‘iman’, sesuatu yang dipandang ‘berakar kepada langit’, dengan kebutuhan kongkrit kemanusiaan. Teologi ini tidak sekadar mengajak manusia untuk berteori tentang Tuhan dan keluhuran budi, tapi justru mengajak manusia menerjuni kenyataan sosial dan membuat perubahan di sana.

Untuk konteks Indonesia, pada tataran konseptual teologi pembebasan ini banyak diperkenalkan oleh F.X. Wahono Nitiprawiro, seorang pastor dari Ordo Jesuit. Dan akibat aktivitasnya yang dipandang sebagai salah satu bentuk advokasi ilmiah tersebut, Romo Wahono harus rela dicap sebagai ‘komunis’ dan mesti menyingkir ke luar negeri. Sementara, pada tataran praksis ide-ide teologi pembebasan ini banyak diterjemahkan oleh Romo Mangunwijaya yang terkenal dengan pembelaan dan pendampingannya terhadap ‘orang-orang kecil’ di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Juga oleh Romo Sandyawan yang tenar ketika membantu Budiman Sujatmoko yang tengah dikejar-kejar penguasa pada saat transisi pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi.

Mengingat coraknya yang transformatif, sekaligus dalam batas-batas tertentu terkesan mendobrak kebekuan, teologi pembebasan sangatlah menarik untuk dikupas lebih mendalam. Sekaligus diproyeksikan kedalam bingkai ajaran Islam dan realitas sosial masyarakat Indonesia. Adakah kita bisa mendapatkan manfaat dari teologi ini? Bisakah kita menemukan dimensi pembebasan dalam Islam? Benarkah kita memerlukan teologi pembebasan, atau lebih luasnya, model beragama yang membebaskan?

Beberapa hal tersebutlah yang ingin dicari jawabannya melalui tulisan ini.

Teologi Pembebasan: Pijar Kemanusiaan dari Amerika Latin

A. Akar Sosiologis dan Religius Teologi Pembebasan

Kemunculan Teologi Pembebasan banyak dikaitkan dengan pergerakan sosial dan intelektual di Amerika Latin hingga pertengahan abad 20. Ada beberapa hal yang ditengarai memicu kemunculan model teologi ini. F.X. Wahono, yang banyak merujuk pada tulisan Juan Luis Segundo, Erico Dussel dan Aloysius Pieris, menempatkan dinamika pergulatan kaum agamawan Khatolik dan institusi Gereja dalam menyikapi realitas sosial yang didominasi warna kemiskinan dan penindasan sebagai latar belakang utama kemunculan Teologi Pembebasan.

Dalam konteks perkembangan sejarah Amerika Latin, kaum agamawan Khatolik dan Gereja memang memiliki peran yang sangat signifikan. Keterlibatan mereka dalam derap perjalanan sejarah bangsa-bangsa Amerika Latin yang diwarnai fenomena kolonialisasi, penginjilan, pergantian kekuasaan, pertarungan antar kelas, sekaligus penindasan dan pertumpahan darah terbilang intens. Berawal dari perjalanan Columbus ke West Indies pada tahun 1492, kemudian dilanjutkan dengan penaklukan Hernan Cortez di wilayah Mexico dan Cuba sepanjang tahun 1500-an, kisah penginjilan dan dialektika relasi antara tokoh agama dan Gereja dengan para penguasa, menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Saat itu, berkembang sistem patronato, dimana kepada para penguasa dilimpahkan kekuasaan untuk mewartakan iman sekaligus mengurusi masalah-masalah ekonomi dan politik di tanah-tanah jajahan. Dalam bingkai sistem ini, wajah tokoh agama dan gereja terasa menjadi gelap, karena dalam posisinya yang sub-ordinat, mereka seakan menjadi pembenar dan peneguh realitas kekerasan dan penindasan yang dilakukan para penguasa terhadap penduduk asli Benua Amerika, yaitu kaum Indian. Mereka bahkan turut melakukan kekerasan dalam bentuk yang lain. Dengan mengandaikan bangsa Indian seperti tabula rasa, mereka melakukan penginjilan dengan gencar, yang pada akhirnya mencabut bangsa Indian dari akar-akar kultural dan warisan kemanusiaan mereka sendiri.

Di tengah wajah gelap seperti itulah, muncul sisi yang lain. Ada pijar dari Gereja dan tokoh agama yang membawa harapan pada mereka yang tertindas. Bartolome de Las Casas, menjadi sosok yang paling berpengaruh untuk menggerakkan para pastor dan uskup menjadi “pelindung orang-orang Indian”. Ucapannya teramat terkenal dan dipandang sebagai cikal bakal praksis pembebasan:

“Tuhan berkenan memilih saya sebagai pelayan-Nya ... untuk mencoba mengangkat harkat Martabat hidup orang-orang yang sering kita sebut orang-orang Indian .... kepada tingkat kebebasan yang asali yang telah dirampas dengan tidak adil, dan untuk membebaskan mereka dari kematian sadis yang kerapkali dialami secara paksa.”

Demikianlah, pada masa-masa penaklukan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa pribumi, kita melihat adanya dinamika internal di kalangan tokoh agama dan Gereja. Di satu sisi, ada pihak yang terkesan oportunis, memanfaatkan tangan-tangan kekuasaan untuk mencapai “tujuan-tujuan agama”. Sementara di sisi lain, justru menukik pada substansi agama dengan mengkritisi kecenderungan agama yang borientasi seperti penguasa: memperlebar wilayah kekuasaan, maupun memperbanyak jumlah pengikut.

Dinamika seperti ini berlanjut ke fase sejarah Amerika Latin selanjutnya. Tahun 1808-1852, berlangsung Revolusi Kemerdekaan yang dimotori kaum borjuis Kreole, para keturunan Spanyol di Amerika Latin. Gerakan ini menghantarkan golongan elit baru ke puncak kekuasaan. Sekalipun sistem kerajaan yang cenderung tiranik digantikan sistem perwalian demokrasi, pada realitasnya kekuatan politik hanya dikuasai 20 % populasi Amerika Latin pada saat itu, yaitu kaum kulit putih Kreole. Sementara 80 % sisanya terpinggirkan, termasuk diantaranya kaum mestizoz, Indian dan Negro.

Kaum Elit Kreole-lah yang kemudian mendominasi baik secara politis maupun ekonomis. Mereka memegang kukuh kekuasaan politis yang direbut dari Spanyol. Sementara kekuatan ekonomi mereka pupuk dari akumulasi keuntungan yang diperoleh lewat transaksi perdagangan dengan Inggris dan Amerika Utara.

Sebagaimana Gereja pernah memanfaatkan perlindungan penguasa Spanyol, pada fase ini mereka pun mencoba menjadi intim dengan penguasa Kreole, dengan kaum borjuis. Dan pada akhirnya, Gereja lebih banyak condong pada keputusan yang memihak kepentingan kaum elit itu ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan.

Kemudian, semenjak tahun 1930-an saat Amerika Latin tenggelam dalam resesi ekonomi dan keguncangan sosial politik, kalangan militer mengambil alih kekuasaan dengan melakukan coup d’etat, yang seringkali diiringi pertumpahan darah. Pada titik inilah, praksis pembebasan kembali muncul. Kesadaran bahwa revolusi senjata selama perang kemerdekaan hanya melahirkan penjajah baru yang menyingkirkan rakyat jelata dalam lorong-lorong gelap sejarah, melahirkan kesadaran baru: masyarakat membutuhkan revolusi kebudayaan, yang akan menciptakan masyarakat awam yang militan.

Demikianlah, di Amerika Latin berkembang Aksi Katholik yang melibatkan massa dari berbagai kalangan dalam jumlah besar. Aksi yang merupakan wujud praksis pembebasan ini menjadi semacam pengimbang bagi kecenderungan sebagian elemen keagamaan yang mapan untuk tetap berada dalam kungkungan sistem patronato yang sedikit banyak memberikan keuntungan politis dan ekonomis.

Dan pada akhirnya, seiring dengan perlawanan terhadap kecenderungan oligarkis kalangan penguasa, militer dan pemilik modal (baik dari kalangan dalam negeri maupun dari negara-negara maju), dengan dimotori para tokoh seperti Gustavo Gutierrez dan Dom Helder Camarra, muncul gerakan pembebasan yang berangkat dari refleksi iman dalam bentuk yang lebih sistematis. Dalam bentuk Teologi Pembebasan.

Dari uraian yang agak panjang ini, kita bisa menangkap benang merah sejarah yang mendasari kemunculan Teologi Pembebasan. Pada dasarnya, corak teologi ini lahir dari pergulatan moral, intelektual dan sosial para agamawan dengan realitas kehidupan yang dihadapinya. Keprihatinan terhadap kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan yang menjadi pengalaman empirik keseharian, menjadi pemicu sebuah upaya perumusan teologi yang bisa membebaskan manusia dari semua bentuk kegelapan kemanusiaan tersebut. Dan ini agaknya bisa dibandingkan dengan peranan kaum mullah dan cendekiawan di Iran, yang sepanjang sejarahnya hidup bersama dan menjadi pendamping rakyat yang tertindas oleh kekuasaan, hingga kemudian menelurkan Revolusi Iran pada tahun 1979.

Tapi sebenarnya, jika menengok pada analisis lain yang dikembangkan oleh Marian Hillar, kemunculan Teologi Pembebasan ini juga banyak dihubungan dengan upaya responsi Gereja dan kalangan Katholik terhadap perkembangan gerakan missionaris kaum Protestan, maraknya sekularisasi, dan penyebaran ide-ide komunisme. Tema-tema inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam CELAM (Konferensi Uskup Amerika Latin) pada tahun 1955 di Rio de Jeneiro. Dari tulisan F.X. Wahono kita tahu bahwa pada konferensi ini jugalah muncul secara resmi ajakan untuk meninggalkan patronato; sebuah kecenderungan yang sedikit banyak menjadi salah satu fondasi praksis pembebasan. Dan pada konferensi itu, terekam bagaimana sengitnya uskup konservatif yang lebih suka bersekongkol dengan penguasa politik, dengan para uskup progresif yang ingin membuat “gereja mampu bergerak bebas di luar batas-batas politik, ekonomi dan budaya; tegar menjadi nabi zamannya”, yang dalam wujud praktisnya berbentuk kesediaan gereja untuk tidak berada dalam payung kekuasaan, melainkan hidup bersama mereka yang tak mempunyai kekuasaan, bersama orang-orang miskin, buruh dan petani yang tertindas.

B. Definisi, Metode dan Muatan Teologi Pembebasan

Phillip Berryman mendeskripsikan Teologi Pembebasan sebagai:

1. Sebuah interpretasi keyakinan Kristen mengenai penderitaan, perjuangan dan harapan kaum miskin.
2. Sebuah kritik dari masyarakat dan ideologi yang membenarkannya.
3. Sebuah kritik terhadap aktivitas Gereja dan orang-orang Kristen dari sudut pandang orang-orang miskin.

Dalam bahasa lain, Teologi Pembebasan secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya penterjemahan Bible dan doktrin-doktrin kunci Kristen melalui pengalaman orang miskin. Teologi ini adalah teologi yang membantu orang-orang miskin menterjemahkan nasib mereka sendiri melalui cara yang baru.

Sementara dalam penelusuran yang lebih ketat mengenai definisi Teologi Pembebasan, kita bisa merujuk kepada paparan F.X. Wahono, yang mencoba terlebih dahulu memisahkan kata ‘Teologi’ dengan ‘Pembebasan’. Merujuk pada Segundo, teologi dimaknai secara dinamis sebagai “iman yang mencari pengetahuannya sendiri, untuk dapat mengarahkan praksis sejarah”. Rumusan ini dilengkapi dengan konsep dari Rubem Alves, “Teologi adalah ilmu pengetahuan bagi orang-orang yang kehilangan Taman Firdaus-nya atau belum mendapatkannya. Sebuah pencarian titik-titik acuan, cakrawala baru yang memungkinkan manusia menemukan arti hidup di tengah kekacauan yang membenamkan dirinya.”

Sementara istilah ‘pembebasan’, sejauh diungkapkan oleh para penggagas maupun pengamat Teologi Pembebasan seperti Guiterrez, Segundo Galilea, dan Ronaldo Munoz, dimaknai secara holistik sebagai:

1. Pembebasan dari belengu penindasan ekonomi, sosial dan politik, atau alienasi kultural, atau kemiskinan dan ketidakadilan.
2. Pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya solidaritas antar manusia, atau lingkaran setan kekerasan yang menantang orang untuk berperan serta dalam kematian Kristus, atau praktik-praktik yang menentang usaha pemanusiaan manusia sebagai tindakan pembebasan Tuhan.
3. Pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan semua manusia, atau pembebasan spiritual menuju pemenuhan Kerajaan Allah, atau pembebasan mental, yakni penerjemahan dan penginkarnasian iman dan cinta dalam sejarah yang kongkrit yang ditandai oleh salib Kristus sebagai salib cinta yang mengalahkan kuasa dosa yang terjelma dalam situasi kekerasan.

Dengan demikian, istilah Teologi Pembebasan merujuk kepada satu upaya refleksi ajaran Kristiani yang dibenturkan dengan realitas sosial, dimana dari refleksi itu iman kemudian dimaknai tidak lagi hanya secara teoritis, tetapi justru dititikberatkan sebagai sebuah tindakan praksis. Seperti yang dirumuskan Hugo Assman, Teologi Pembebasan adalah “refleksi kritis atas proses sejarah pembebasan dalam arti iman yang muncul dari tindakan.”

Melihat corak teologi seperti ini, memang menarik untuk menelusuri akar-akar epistemologisnya. Ada banyak pandangan mengenai hal ini. Jika kita merujuk pada Ron Rhodes, disebutkan bahwa Teologi Pembebasan memiliki akar pada gagasan beberapa teolog Eropa. Setidaknya ada tiga orang yang bisa dikemukakan: Jurgen Moltmann, Johannes Baptist Metz, and Dietrich Bonhoeffer.

Moltman mengungkapkan pandangannya tentang kedatangan Kerajaan yang memberi Gereja visi transformasi masyarakat, sebagai lawan dari visi penyelamatan personal atau individual. Metz menekankan adanya dimensi politis pada iman, dan berdasarkan itu Gereja harus menjadi institusi kritisisme sosial. Sementara Bonhoeffer menggagas pentingnya mendefinisikan ulang agama dalam konteks sekuler. Teologinya menekankan tanggung jawab manusia terhadap sesama, dan penitikberatan pada nilai penglihatan dunia dengan ‘penglihatan dari bawah’ – yaitu dari perspektif dari kalangan miskin dan tertindas.

Selain akar teologi Eropa di atas, satu hal lain yang sering diungkapkan para pengamat adalah akar Marxisme. Kembali merujuk pada Ron Rhodes, Teologi Pembebasan memang menggunakan konsep Marxis sebagai instrumen analisis sosialnya. Dalam analisis Marx dikemukakan bahwa problema manusia merupakan hasil langsung dari eksploitasi kelas. Eksploitasi kelas ini sendiri muncul seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang menempatkan sekelompok orang yang menguasai sumber-sumber daya ekonomi (baca: pemilik modal atau kaum kapitalis) sebagai super-ordinat, dan kaum buruh atau pekerja sebagai sub-ordinat. Dalam konteks Teologi Pembebasan, model analisis seperti ini menjadi relevan untuk diterapkan karena ia berangkat atau didirikan di atas konfigurasi sosial Amerika Latin yang penuh warna penindasan.

Karena akar-akar seperti inilah kemudian muncul kritik terhadap Teologi Pembebasan, seperti bahwa ia sebenarnya tak lebih sebagai bagian dari Teologi Kerajaan Allah (yang banyak berkembang di Eropa Barat), atau teologi made in Germany, serta cenderung mencanangkan pertentangan kelas dengan mengabaikan penyelesaian kooperatif sebagai mana model analisis Marxis. Mengingat itu, menjadi penting untuk mendalami Teologi Pembebasan dari segi metode dan muatan, agar kita bisa memperoleh gambaran kebenaran kritik-kritik tersebut. Sekaligus untuk menguji pandangan di awal bahwa Teologi Pembebasan merupakan sesuatu yang baru, orisinil dan mendobrak.

Pada satu sisi, kita bisa mengungkapkan bahwa letak perbedaan mendasar antara Teologi Pembebasan dengan teologi Eropa Barat yang berakar pada metode transendental Immanuel Kant, adalah pada titik ‘praksis’ dan ‘teoritis’. Yang pertama dinisbatkan kepada Teologi Pembebasan, sementara yang kedua pada Teologi Eropa Barat. Jika metode transendental Kantian berusaha menjelaskan arti iman dalam pengertian iman, maka metode teologi pembebasan menegaskan bahwa ia bermaksud mentransformasi dunia sebagai realisasi iman yang hanya menjadi iman sejauh dilakukan dalam praksis pembebasan. Dengan kata lain, jika dalam metode transendental teologi merupakan sarana untuk meraih kepuasan budi, baru kemudian dari sana melakukan tindakan yang sesuai dengan iman yang telah lebih dimengerti itu, maka pada metode teologi pembebasan, teologi itu sendiri justru menjadi yang kedua sesudah langkah pertama berupa praksis pembebasan. Dan seperti yang dikatakan oleh Marian Hillar, lewat Teologi Pembebasan ini kaum agamawan lantas menjadi “intelektual organis” yang menjembatani kesenjangan yang tajam di dalam masyarakat Amerika Selatan.

Selanjutnya, sebuah diagram (Lingkaran Hermeneutika) yang dirumuskan oleh Segundo akan lebih membantu kita memahami secara teknis metode Teologi Pembebasan, sekaligus menjawab pertanyaan tentang sejauh mana pengaruh dan keidentikan Marxisme terhadapnya.



















Keempat langkah dalam lingkaran hermeneutika tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Langkah pertama: Cara kita mengalami “realitas yang terumuskan” mendorong kita pada posisi “kesangsian ideologis”
• Langkah kedua: “Kesangsian ideologis” kita tadi, kini diterapkan terhadap superstruktur (besertanya juga teologi yang beku)”
• Lagkah ketiga: “Kini kita telah mendapatkan cara baru mengalami realitas teologis yang mendorong kita pada posisi “kesangsian eksegetis”, kita mulai menyangsikan bahwa “interpretasi kitab suci” yang ada telah tidak mengikutkan data yang penting.
• Langkah keempat: Kini kita telah memiliki hermeneutika baru, artinya kita sudah mempunyai “cara baru yang kaya dan mendalam dalam menginterpretasi Kitab Suci”. Dengan perolehan yang baru tersebut, kita “mengalami kembali realitas secara baru”.

Berdasarkan empat langkah inilah, kita bisa melihat perbedaan yang jelas dan mendasar antara Teologi Pembebasan dengan ideologi Marx. Adalah benar, bahwa Karl Marx berangkat dari penghayatan atas realitas, dengan merumuskan realitas sejarah sebagai perjuangan antar kelas. Lebih spesifik, realitas sejarah adalah perjuangan kaum proletariat untuk menumbangkan kekuasaan kaum borjuis. Dari penghayatan ini, ia kemudian beranjak pada kesangsian ideologis dengan menyatakan bahwa “Ideologi yang berlaku pada setiap zaman ternyata selalu merupakan ideologi dari kelas sedang yang berkuasa”. Namun Marx hanya berhenti sampai di sini, karena ia tidak menindaklanjutinya dengan permenungan teologis yang menelurkan kesangsian eksegetis, dengan mempertanyakan agama dan berusaha merubah agama itu. Alih-alih demikian, Marx dengan slogannya yang terkenal “agama adalah candu masyarakat”, justru lebih memilih melenyapkan agama.

Sebaliknya, menurut Teologi Pembebasan, lewat permenungan teologis kita bisa melangkah ke fase berikutnya, “kesangsian ideologis” dan “cara yang kaya dan mendalam dalam menginterpretasikan.” Inilah yang dilakukan oleh Cone, seorang teolog pembebasan dalam konteks masyarakat hitam (sehingga tulisannya pun diberi judul The Black Theology of Liberation). Pertama-tama ia merumuskan realitas sebagai perjuangan pembebasan kelas kulit hitam. Kedua, kesangsian ideologis Cone terhadap pendapat kulit putih bahwa warna kulit jangan dijadikan titik perbedaan demi kesatuan dan universalitas manusia. Ketiga, kesangsian eksegetis Cone terhadap cara berteologi kelas kulit putih yang berpusat pada Kristus yang universal, menutup kemungkinan mendekati Kristus yang juga Yesus yang terikat dengan kebudayaan tertentu. Dan keempat, cara yang kaya dan mendalam mengalami Kitab Suci sebagai Sabda yang relevan bagi perjuangan kelas kulit hitam untuk pembebasan zaman ini.

Terakhir, hal menarik yang bisa dilihat dari Teologi Pembebasan ini adalah muatannya, atau isinya. Menurut F.X. Wahono, setidaknya ada enam pokok bahasan yang dikembangkan di dalam Teologi Pembebasan, yaitu:

1. Kedosaan manusia dalam perspektif perjuangan kelas
2. Kerajaan Allah sebagau utopia yang topia
3. Yesus Kristus sebagai pembebas
4. Gereja rakyat miskin
5. Eksegese dan ekaristi sebagai pusat gereja rakyat
6. Spiritualitas kemiskinan sukarela sebagai jiwa langkah pastoral untuk pembebasan sosial, ekonomi dan politik; pembebasan kemanusiaan; serta pembebasan keputeraan Allah.

Dari enam pokok bahasan yang akan cukup panjang jika diuraikan itu, ada beberapa point penting yang bisa kita petik untuk kepentingan kita, belajar dari Teologi Pembebasan.

Pertama, seperti keyakinan Gustavo Gutierrez, kedosaan manusia tidak hanya berakar dalam hati manusia, melainkan berakar pada struktur sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keagamaan yang memeras dan menindas banyak orang miskin demi keuntungan sekelompok kecil masyarakat. Karena itu yang perlu dikedepankan adalah praksis pembebasan pada level sosial, atau dalam bahasa lain, transformasi struktural.

Kedua, upaya pembebasan untuk keluar dari cengkeraman dosa struktural melalui transformasi pribadi dan kolektif harus menghantarkan manusia pada Kerajaan Allah yang menawarkan:
• Pembebasan dari belengu kekerasan ekonomi, sosial dan politik.
• Pembebasan yang menciptakan solidaritas antar manusia.
• Pembebasan dari dosa yang mempersatukan kembali hubungan manusia-Tuhan yang rusak.

Ketiga, gereja yang ideal adalah:
• Gereja yang tidak memandang dirinya sebagai satu-satunya tempat keselamatan
• Gereja harus mengarahkan dirinya untuk pelayanan baru dan radikal bagi seluruh umat manusia.
• Gereja menyadari bahwa karya Kristus dan Roh-Nya adalah kriteria tertinggi bagi kebenaran rencana keselamatan.

Kempat, perlunya gagasan baru tentang pembacaan Injil yang membumi sekaligus menyejarah.

Kelima, perlu adanya pemahaman baru mengenai makna kemiskinan. Lebih teknis, perlu dibedakan antara kemiskinan yang diutamakan yaitu kemiskinan sukarela, dan kemiskinan yang memerlukan praksis pembebasan, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakadilan struktural dan penindasan.

Menelusuri Akar Pembebasan dalam Islam

Merujuk kepada Nashr Abu Zayd, peradaban Islam adalah sebuah peradaban teks. Dalam pengertian, dasar-dasar ilmu dan kebudayaan Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan “teks” sebagai pusatnya. Pada titik ekstrimnya, kecenderungan, atau lebih tepatnya, keunikan peradaban Islam ini, membawa sebagian umat Islam pada cara beragama yang sangat berpaku kepada “teks” semata, dengan mengabaikan realitas sejarah. Agama didekati secara sangat normatif, dari sisi idealitas yang banyak diungkapkan oleh teks itu, sekaligus dengan mengasumsikan “teks”-lah yang harus mengarahkan dan membentuk jalan sejarah.

Padahal – sebagaimana dikatakan Nasr Abu Zayd – teks apapun tidaklah dapat memancangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Justru ilmu pengetahuan, kebudayaan maupun peradaban itu sendiri, adalah hasil dialektika manusia dengan realitas, dengan segenap struktur yang membentuknya: ekonomi, sosial, budaya, politik dan sebagainya. Dan pada akhirnya, mempengaruhi teks dan membentuk coraknya.

Menelusuri akar pembebasan dalam Islam, jika kita hanya menggunakan pendekatan teks, sekalipun kita akan mendapatkan hasil yang positif karena didalam teks Islam seperti Al Qur’an dan Sunnah banyak sekali norma dan nilai yang mendukung pembebasan, jelaslah tidak akan memadai. Persoalannya, kita tak akan mendapatkan gambaran yang nyata bagaimana etos pembebasan itu pernah hidup dalam sejarah, bahkan menjadi inti sejarah kelahiran Islam. Bahkan sebaliknya, pendekatan teks semata hanya akan membawa kita pada sebuah kesimpulan seperti yang banyak diyakini oleh kalangan Muslim tekstualis: Tak ada masalah dengan “Islam”. Atau meminjam istilah Teologi Pembebasan, kita tak akan pernah sampai pada “kesangsian ideologis” maupun “kesangsian eksegetis”.

Karena itulah, kita membutuhkan sebuah pendekatan sejarah. Dan analisis yang dikemukakan Asghar Ali Engineer, dalam pandangan penulis, sedikit banyak akan bisa memenuhi kebutuhan kita. Asghar Ali Engineer, seorang Da’i (Penganti Imam yang Ghaib dalam tradisi Syi’ah Ismaililyah) dalam kelompok Daudi Bohras di India, memang terkenal dengan ulasannya mengenai teologi pembebasan dalam perspektif Islam, yang banyak didasarkan pada analisis sejarah.

Mekkah, demikian penuturan Aasghar Ali Engineer, semenjak abad kelima telah menjadi pusat perdagangan internasional yang penting. Kota ini menjadi makmur, karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika. Dengan demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar.

Dalam konfigurasi sosial seperti ini, seperti halnya fenomena pertumbuhan negara modern yang menerapkan ideologi pembangunan dan industrialisasi, berkembanglah institusi-institusi pemilikan pribadi, akumulasi keuntungan dan pada akhirnya disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan pada sekelompok orang. Karena cepatnya pertumbuhan operasi perdagangan di Mekkah, beberapa pedagang yang memiliki keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antar-suku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka.

Menyikapi realitas itu, orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang Tulus). Dan Nabi Muhammad, pada saat belum menjadi Nabi, ikut aktif dalam lembaga ini.

Demikianlah, perkembangan selanjutnya, kalangan miskin kemudian terpinggirkan dan terlantar dalam belitan dinamika sosial yang tak bisa mereka ikuti. Budaya kesukuan yang semula berkembang di Mekkah pun bergeser menjadi budaya perdagangan, dengan unsur monopolis dan oligarkis di dalamnya. Maka, struktur sosial yang timpang dan rapuh pun menjadi tak terelakkan kemunculannya.

Islam muncul dalam konteks sosial seperti ini. Ia tidak hadir di ruang vakum sejarah. Sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, Tuhan berjanji untuk mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Dan dalam bahasa Ali Engineer, Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial.

Demikianlah – kembali merujuk Ali Engineer - Islam bangkit dalam setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebih dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah.

Menarik untuk dicatat, karena kemudian sejarah menegaskan bahwa orang-orang yang menentang Nabi – direpresentasikan oleh Abu Lahab, Abu Jahal dan Abu Sofyan - kebanyakan berasal dari kelas mapan di Mekkah, dan penentangan itu lebih didasarkan pada sifat transformatif Islam yang akan merugikan kepentingan ekonomi mereka, dibandingkan ketidaksetujuan mereka terhadap ajaran penyembahan kepada Tuhan. Sebagaimana kita tahu, Islam dengan tegas menentang akumulasi keuangan yang selama ini banyak dilakukan kalangan mapan Mekkah.

Al Qur’an misalnya menyebutkan:

"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu hati." (Surat 104)

Demikianlah, Nabi Muhammad semenjak fase kenabiannya memang banyak mengedepankan idiom-idiom teologis, tapi orientasinya adalah perubahan struktural di Mekkah. Kepeduliannya adalah bagaimana perbudakan, penindasan kalangan kaya terhadap kaum miskin, juga pelecehan terhadap kaum wanita dan struktur sosial yang tidak adil lainnya bisa diatasi. Karena itu pulalah, kita bisa melihat fakta sejarah bahwa gerakan Nabi lebih banyak didukung oleh mereka yang tertindas, kalangan budak dan orang-orang miskin, seperti Bilal, Yassar dan istrinya Sumayyah, Salman al Farisi, Miqdad al Amr, Abu Dzar al Ghifari dan lainnya. Sebab kalangan ini melihat harapan dan masa depan mereka ada pada gerakan pembebasan yang dipimpin Nabi Muhammad. Sekalipun pada akhirnya, kita tidak bisa mengingkari peranan orang-orang yang dalam kategori sosiologis modern adalah dari kalangan kelas menengah seperti Ali bin Abu Tholib, Abu Bakar maupun Umar dan Utsman. Bahkan agaknya kita bisa menyebutkan mereka sebagai “intelektual organis” dalam istilah Marian Hillar.

Teologi Islam yang Membebaskan: Tuntutan Masa Kini

Persoalan yang melanda dunia Islam adalah, etos pembebasan ini tidak bertahan lama. Ketika Nabi wafat, demikian pula sahabat-sahabat utama - yang sekalipun pernah terlibat dalam konflik politis secara umum tetap menjaga nilai-nilai substantif Islam - wafat satu persatu, dan otoritas politik atas masyarakat Islam jatuh ke tangan Dinasti Umayyah yang menjalankan kekuasaan yang otokratis dan feodalistik, bergeserlah bandul sejarah. Elan pembebasan mengalami kerusakan berat, dan yang kemudian berkembang adalah kekuatan eksploitatif dan tiranik yang terlembaga. Dan dalam atmosfer sosial politik seperti inilah kemudian tumbuh bangunan keilmuan Islam, termasuk di dalamnya ilmu kalam yang bisa disetarakan dengan teologi.

Beranjak dari penghayatan realitas sejarah masyarakat Islam saat ini yang banyak diwarnai oleh penindasan secara fisik maupun non-fisik (seperti kepada kalangan wanita, non-muslim dan masyarakat awam), ketimpangan pemilikan sumber-sumber daya ekonomi dan politik, juga hegemoni militer dan militerisme, layaklah kita mengedepankan kritisime, yang analog dengan kesangsian ideologis dan kesangsian eksegetis dalam Teologi Pembebasan. Kita patut mempertanyakan superstruktur – khususnya “tafsir agama” - yang kini banyak berkembang, karena sebagaimana ditunjukkan beberapa kajian sosiologi agama , seperti oleh Max Weber, Robert N. Bellah maupun Clifford Geertz, ada benang merah yang menghubungkan corak tafsir agama dengan realitas dan struktur sosial.

Tepat pada titik inilah menjadi relevan bagi kita, untuk mengembangkan proyek perumusan model beragama – tepatnya metode teologi – yang mengarah pada pembebasan. Baik pembebasan dari struktur sosial yang hegemonik dan menindas, pembebasan dari “kegelapan kemanusiaan pada tataran individual maupun sosial”, maupun pembebasan dari belengu tafsir agama yang tercipta dalam konteks tertentu di masa lalu.

Pendalaman akan topik ini, yang akan membawa kita pada gagasan-gagasan revolusioner seperti yang diajukan Mohammed Arkoun dengan kritik nalar Islam dan Mohammed Abid al-Jabiri dengan kritik nalar Arabnya, akan dilakukan dalam tulisan yang lain. Yang ingin dicapai dalam tulisan ini hanyalah sebuah kesadaran, bahwa kita membutuhkan sebuah model beragama yang memicu kita pada praksis pembebasan, karena dari berbagai sisi, termasuk karena kesamaan sebagai bagian dari Dunia Ketiga, konteks sosial masyarakat Islam secara umum, ataupun masyarakat Indonesia, memiliki banyak kemiripan dengan konteks sosial masyarakat Amerika Latin dimana tumbuh Teologi Pembebasan

smoking

The Dangers Of Cigareet

There are many ways to take tobacco. You can chew it, inhale it through the nose, and smoke it in the form of cigars or cigarettes. No matter how it's taken it is dangerous, but because smoking is the most popular way to consume tobacco it has also received the greatest attention from the medical field and the media.
When a smoker inhales a puff of cigarette smoke the large surface area of the lungs allows nicotine to pass into the blood stream almost immediately. It is this nicotine "hit" that smokers crave, but there is a lot more to smoke than just nicotine. In fact, there are more than 4000 chemical substances that make up cigarette smoke and many of them are toxic.
Cigarette smoke is composed of 43 carcinogenic substances and more than 400 other toxins that can also be found in wood varnish, nail polish remover, and rat poison. All of these substances accumulate in the body and can cause serious problems to the heart and lungs that can make asthma, sudden infant death syndrome, bronchitis, pneumonia, and ear infections.
Smoking can also be dangerous for unborn children. Mothers who smoke are more likely to suffer from miscarriages, bleeding and nausea, and babies of smoking mothers have reduced birth weights or may be premature. These babies are more susceptible to sudden infant death syndrome and may also have lifelong health complications due to chest infections and asthma.
It is never too late to give up smoking, even those who have smoked for 20 years or more can realize tremendous health benefits from giving up the habit.

mural

Grafiti = vandalisme?
Itukan cuma nggampangke persoalan. Orang yang pikirannya konserfatif grafiti tidak menarik. Tapi kalo anak muda merka tertarik. Tetapi mungkinyang klasik mereka nggak tertarik. Karena anak muda kan suka yang baru. Ada street art gitu.

Keunikan grafiti di indonesia?
Taun2 awal g ada perbedaan jauh. Secara teknis, visual, dll, masih cenderung meniri dari luar negeri. Masih pada tahap fasion. Tahap berikut, spirit lokal di munculkan. Seperti di jogja mereka teknisnya berbeda, yaitu canpur cet. Cita rasa personal dan lokal juga dimunculkan. Masih pada tahap mencontoh.

Negara meilegalkan, tapi katanya jogja tidak?
Grafiti itu memang ilegal. Di jogaja, mural sudah mulai diterima masarakat dulu, temen grafiti juga pengen. Bahkan pemerintah (walikota) pernah membuat surat undangn untuk membuat grafiti. Waktu itu walikota ada di jernan, dia iri karena di sana bagus. Dia pikir kalo jogja jika dibuat seperti itu basgus. Undangan itu di cetak di KR. Dipotong lalu kalo ditangkap bisa ditunjukkn. Seiring berjalannya waktu masih ada yang di tangkap. Dfimarahi. Persepsi warga joga masih yang lama tentang grafiti, mengotori, merusak, dll. Masarakat prefer mural; than grafiti. Akhirny para bomber memperbaiki kualitasnya dan hasilnya bagus juga.

Setuju sama grafgiti yang asal?
Bukan masalah setuju dan g setuju. Cuma kalo nggak bagus ya nggak asik ahh, kan saya seniman. Ini soal selera saja.

Pelegalan grafiti penyimpangn?
Perebutan wi;layh. Hasratnya harus ilegal . Seperti penggunaan ganja, klo g ilegal g asik. Lebih menarik ilegal. Kalo menuruyt sam jika dia jadi pemerintsag, ada ruang yang legal dan g legal, menyangkut manajemen kota. Misal ruang bersejarah g boleh di bom.

Grafiti sejaahnya protes.,
Masalah perkemgangn sosial kota. Begitu kota tidak memberikan akses pada kelomp[ok tertentu misal remajs. Dia g punya ruang untuk mennjukan eksistensinya. Lalu mreka bisa meenyalurkan dengan grafiti. Kenapa di deasa g ada grafiti, dangdutan eae. Ada problem sosial, problem yang menengkranm keberdasn mreka. Maka mereka mencoba keluar dari problem itu. Fasion, anak2 muda baca buku supaya tau tren di luar negeri. Resistensi anask ,muda masih rendah terhadap budaya luar dan tren.

Awal kemunculan di indonesia.
Merdeka atau mati bisa dikategorikan itu grafiti.

Eksis di murakl?
Sejak taun 97, tapi g begitu ekspert di bidang grafiti. Memakai mural sebatas untuk memahami sebuha ruang. Mural itu pekerjaan lama. Seperti pada jaman purba yang menggambar di gua. Ini revitaliasai Seni keluar dari habitat yang awal (di studio) membagikan pesan, dan kemampuan berkesenbian di ruang terbuka. Menyampaikan banyalk pesan, harapan, dll. Ruang kota dimungkinkan kembali dimiliki oleh warganya. Mural luar ruang dan dalam ruang. Dia memilih yang luar karena bisa dinikmati orng banyak.
Yang di bi,in oleh masa sam, fubngsi yang dibikin. Yang di kampung bisa mengembalikan kesadaran kolekti. Kekerabatan ter5jalin. Ruag2 terbengakali bisa dijadikan tempat memberikan pesan bahwa kampung kami dulu seperti ini dan begini. Mempunyai peranan sosial, membanun kekerabatan.
Perkotaan menjadi lebih manusiawi, karena warga lebih punya peluang iuntuk mendandani rumahnya. Ada kisa2 yang tadinya tidak terlihat ja di mucul.

Pas g dengan budaya tradisional?
Kalo dilihat dari sudut orang tua yang tidak pas, mereka pasti mikirnya ini apa tho? G bisa dibaca? Maunya aapa? Itulah kenyataan bahawa ada perkembangan terbaru bagi warganya bahwa semuanya pasti menacu pada tradisi yang baru. Nggak busa di pungkari bahawa ada perubahan jogja jangan ster5il dari perkembngan. Jogja dadlah kota yang bergerak, tradisi iya, pergerakan sebuah kota memungkinkan muncul banyak hl yang tidak selaras, dgn tradisu.

Sisi negatif.
Kalo grafiti g pas, pasti bikin sumpekl. Seperti bendera partaui yang bikin hueekkkk,,,, sesuatu yang over dosis dan tidak di komposisi dengan baik pasti menyebalkan. Jangan sapai ada kejenuhan.

Grafiti yantg menarik?
Grafiti yang menyuarakan sewsautiu. Ruangnya pas, misal ruang yang kumuh di ikin full kolor. Menambah nilai ruang. Menyampoaikan gagaan yang unik. Pesan2 politik, sosial,dll. Di brasil, ada grafiti puisi2 latin.jangan cuma niru haraus ada karakteristik, aransenren.

Komunitas grafiti2?
Banyak..pak sam bikin komunitas. Joga mural forum. Kegiaananya cuma bikin mural. Bikin workshop.

Konflik antar komunitas?
Rebutan ruang, ditimpa, emosi, mau berantem.warung wijilan, banyak yang kumpul waktu malem.
Kalo mural nggak ada konflik, karena lama mbuatnya, bareng2, dll.
Kami ada disini, itu cuma yabng tulisan, gak menarik.

Grafiti selain jogja?
Perkembangan paling intensif, jogja dan jakarata. Karena pengen dsama atau dekat dengnanask m,usik, band fesyen, dll.

Suka duka murlis?
Ketemu banyak orang, kenalan banyak. Langsung tahu respon orang.proses edukasi mumcul/ dukanya, kalo hujan, capek, biaya besar. Cari\ sponsor. Artinya siapa yang nau suport. Satu kmpung urunan sampai 5 juta. 1 liter 4 mtr persegi. Pake warna preimer, hitam dan putih.
Inspirasi?
Berdasarkan lokasi rung yang penuh jangan yang rumit2 nanti capek. Ide berdasarkan ruang ada di mana, kita ,au ngomong apoa. Klo ,au edukasdi, ceritakan lokal konten, misalny jogokaryan. Erjarah lokasl. Ruang punya spesifikasi seperti a[pa. Misal raung sempit, biar keliatan lebar, pendek biar keliatan tinggi.
Ada masarakat yang menolak, alasannya putih ajaq bagus kok. Sudah bukan tahap senagn nggambar,
tapitahap ini adalah pekerjaanku, bukan main2.

Idealisme kominitas.
Bisa mengumpulkan beragam orang yang berminat dengan perkembangan mural di jogja.
Harapan?
Pengan jogja menjadi kota terpenting perkembangan mural se asia teng0egara. Orang2 pada datang ke sini untuk lihat2 penelitian dll.
Belum pernah nggambar seara ilegal. Menghormati.malu kaareaa saya paha itu g boleh.