KAUM MUDA VS HEGEMONI PASAR

-->
“Jika harimau nempunyai cakar dan ular mempunyai bisa, maka pemodal mempunyai simbol-simbol dan tanda-tanda untuk mempertahankan eksistensinya”.

Siang itu cuaca terlihat begitu panas. Namun suhu yang menyengat tersebut tak mampu mengalahkan puluhan anak muda yang berdandan hampir seragam, potongan rambut yang juga serupa, aksesoris berwarna cerah, pakaian warna-warni mencolok ketat dan seksi, tak lupa dengan ekspresi wajah yang riang. Sembari menyanyikan lagu-lagu cinta dari band-band picisan pujaan, mereka melakukan gerakan tarian yang tak kalah serentak. Pemandangan tersebut sekarang lazim dijumpai di televisi-televisi swasta Indonesia dalam acara konser-konser musik kecil-kecilan. Ambil contoh, tayangan “inbox” di stasiun televisi swasta SCTV yang menyajikan penontonnya konser dari band-band kecil maupun yang sudah mapan dan dibumbui dengan peringkat-peringkatan. Acara tersebut tidak hanya ditayangkan sekali dalam seminggu, namun setiap hari.
Merujuk dari fenomena tersebut, kita bisa melihat betapa ampuhnya budaya populer mampu membius kaum muda dengan euforianya. Ada sesuatu yang menggerakan anak-anak muda tersebut. Ada sebuah tangan tak nampak (meminjam istilahnya Adam Smith) yang membuat mereka tampak seragam, baik dari cara berpakaian, gaya hidup, dll. Siapakah pemilik tangan tak nampak tersebut? Apakah fenomena tersebut wajar/alami terjadi begitu saja? Atau apakah ternyata kapitalis dan pemerintah juga punya andil besar di dalamnya? Mungkinkah perputaran modal, ideologi, hegemoni kapitalisme, dan industri kelas kakap tak luput menjadi sutradara di balik layar pertunjukan itu? Mari kita telaah lagi apa itu budaya populer, pasar, dan bagaimana hegemoni bekerja melalui banyak cara. Semoga setelah itu tangan tak nampak tersebut sedikit demi sedikit akan semakin terlihat.

Budaya Populer, Pasar, dan Kaum Muda
Budaya populer, pasar, dan kaum muda adalah tiga kata benda yang mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Ketiganya merupakan aset berharga bagi ideologi kapitalisme untuk semakin melanggengkan eksistensinya. Pasar sulit lepas dari kapitalisme, dan kapitalisme tak bisa lepas dari pengerukan laba sebanyak mungkin. Semua orang tahu itu. Untuk membeli barang-barang yang mereka produksi dan demi mengalirkan pundi-pundi ke dalam kantong mereka, kapitalis membutuhkan pasar.
Pasar yang mempunyai pembeli terbanyak adalah pasar yang paling menguntungkan kapitalis, sehingga pasar itulah yang menjadi incaran dan rebutan mereka. Melihat kondisi pasar, pangsa pasar yang paling menggiurkan dan mempunyai prospek cerah adalah kaum muda. Selain karena  jumlahnya yang banyak, kaum muda adalah kaum yang paling mudah dipengaruhi oleh pemodal baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam pencarian jati dirinya, kaum muda seringkali mudah terbawa arus. Jika sekarang pakaian perempuan yang ngetrend adalah pakaian ketat, seksi dan mencolok warnanya, maka seorang pemudi akan berpikir berkali-kali untuk memakai pakaian yang buluk, tidak seksi, dan tidak mencolok warnanya. Ujung-ujungnya, pemudi itu berusaha keras, bagaimanapun caranya untuk membeli pakaian yang bentuk dan warnanya hampir sama dengan yang lain.
Dari uraian di atas, kita bisa membedakan yang mana yang disebut budaya populer, pasar, dan kapitalis. Di sini pemudi berperan sebagai pangsa pasar yang membeli pakaian, dan kapitalisnya tentu saja produsen pakaian “masa kini” yang mendapat keuntungan. Lalu bagaimana kabar budaya populer?

Invasi budaya populer dan kebutuhan yang diciptakan
Ada banyak faktor yang membuat kaum muda membeli sesuatu, misalnya (merujuk pada contoh sebelumnya) membeli pakaian “masa kini”. Faktor yang pertama misalnya pemuda tersebut terkena bencana alam hingga pakaiannya habis. Di toko, pakaian yang tersedia hanya pakaian “masa kini”, mau tak mau dia membeli pakaian tersebut. Ia membeli pakaian tersebut karena memang dia butuh untuk bertahan hidup (kebutuhan minimal). Faktor yang kedua adalah, ternyata pemuda itu sudah terinfeksi dan terhegemoni budaya populer. Jika diibaratkan kapitalis adalah seorang pemburu, dan pembeli adalah adalah buruannya, maka pemburu yang paling pandai menyiapkan perangkap menjadi pemburu yang dapat buruan paling banyak. Perangkap tersebut adalah budaya populer.
Budaya populer mengambil alih kesadaran kaum muda melalui perangkat-perangkat tak terlihat dari para elit (kelas atas), yaitu ideologi dan hegemoni. Gramsci dalam epistemologinya tentang hegemoni mendefinisikan hegemoni sebagai suatu pengetahuan atau ideologi atau keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung dengan pembiasaan maupun dengan pemaksaan (doktrinasi) ke dalam atmosfir kesadaran kolektif masif. Salah satu penyebarannya dilakukan dengan perangkat media massa.
Tayangan-tayangan di televisi macam iklan, film, sinetron, dll turut andil dalam hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa seperti pemilik modal besar, atau elit-elit politik. Dengan perangkat tersebut hegemoni bekerja, dan massa (kaum muda) akan memperoleh sebuah kesadaran-kesadaran atau keyakinan-keyakinan yang baru (atau relatif baru), yang disebut ideologi.
Ideologi tidak hanya memproduksi kebudayaan, namun juga memproduksi kesadaran diri manusia. Ideologi tidak berjalan secara eksplisit, namun secara implisit. Ia berkembang dalam praktek, kehidupan sosial, dan berbagai hal yang diterima masyarakat (yang seakan) apa adanya. 
Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, aturan-aturan dan norma-norma yang melingkupi suatu kelompok masyarakat akan mempengaruhi sikap dan tindakan individu dalam masyarakat tersebut.
Ketika hegemoni itu bekerja dengan baik maka kedudukan para elit di atas menjadi semakin kokoh. Massa sudah terpesona oleh nilai-nilai yang ditawarkan, sehingga secara langsung maupun tidak langsung mereka menyetujui dan menganggapnya sebuah kelaziman. Ketika dalam kondisi tersebut, maka para elit (kapitalis maupun politisi) dapat dengan mudah menggiring massa sesuai keinginan mereka.
Ideologi yang ingin disebarkan oleh budaya populer melalui hegemoninya adalah ideologi kapitalisme dan liberalisme. Ideologi tersebut menawarkan nilai-nilai populer dan kebebasan semu. Masih ingat dengan iklan pemutih kulit yang menggembar-gemborkan bahwa dengan mempunyai kulit putih, maka lawan jenis akan lebih mudah terpikat? Nah nilai yang ingin ditanamakan kelas elit kapada massa adalah bahwa wanita berkulit putih itu cantik, dan lebih baik daripada wanita berkulit hitam.
Terciptalah sebuah kesadaran hirarkis, bahwa perempuan kulit putih mempunyai kedudukan atau posisi lebih tinggi daripada yang berkulit hitam. Nah, setelah nilai atau kesadaran tersebut tertanam maka timbulah niat dari si penonton iklan tersebut untuk membuat tubuhnya menjadi semakin putih. Karena semakin dia putih, maka (seakan-akan) derajatnya akan semakin tinggi. Ujung-ujungnya, produk pemutih tubuh akan menjadi semakin laris. Keuntungan pun mengalir deras ke industri obat pemutih tubuh.
Dari situ bisa dilihat adanya saling keterkaitan antara massa (kaum muda), superstruktur (nilai-nilai dan keyakinan) dan genggaman ideologis kapitalis terhadap massa.

Subkultur yang dikooptasi
Masih ingat dengan contoh anak muda di acara “inbox” yang suka memakai pakaian yang serba mencolok dan bertabrakan warnanya, potongan rambut dan aksesoris yang aneh-aneh? Atau contoh lain, anak-anak muda yang berpenampilan punker, lengkap dengan aksesoris yang melekat di tubuhnya, macam tindik, anting ataupun kalung rantai. Jika dilihat sekilas mereka mengusung nilai-nilai perlawanan, dimana budaya mereka berbeda dari orang kebanyakan. Budaya yang di luar pakem tersebut biasa disebut subkultur. Namun pengaruh hegemoni kapitalis dengan budaya populernya juga telah masuk dan menyelinap ke dalam sendi-sendi subkultur ini.
Ketika melihat adnya sub kultur ini, budaya populer menawarkan keunikan dan ego dari tiap-tiap individu yang pada akhirnya ia akan diakui eksistensinya oleh orang lain (tapi meskipun dia diakui unik, tetap saja ia akan serupa dengan yang lain). Singkatnya individu yang terinfeksi budaya populer ingin menjadi individu yang diakui eksistensinya oleh orang lain (budaya pamer). Menjadi unik dengan membeli dan memakai pakaian yang ketat, seksi, dan mencolok warnanya, menyanyikan lagu-lagu band picisan, dan diakuinya si pemakai itu sebagai anak gaul masa kini, atau memakai dan berdandan ala anak punk, itulah yang disebut budaya populer.
Ujung-ujungnya bisa ditebak. Kredo yang ditawarkan tetap sama. Beli, beli, beli, konsumsi, konsumsi, konsumsi, dan engkau pun akan mendapat pengakuan. Subkultur yang pada awalnya merupakan sebuah gerakan perlawan untuk mengkritik budaya sebelumnya kini berubah menjadi gaya hidup dan fashion saja ketika ketika dirasuki kapitalis. Seakan-akan setelah membeli aksesoris punk di mall dan memakainya, maka dia ikut melakukan gerakan perlawanan. Padahal tidak,
Sejak kemunculannya hingga sekarang, ideologi kapitalisme memang mengalami perubahan-perubahan dalam penerapannya. Dengan adanya jaman post-modern sekarang ini, tanda-tanda, simbol-simbol, dan nilai-nilai hidup bisa dengan mudahnya digunakan, diputarbalik dan dimodifikasi sedemikian rupa oleh kelas elit (kapitalis dan politikus) dengan tujuan mengamankan posisi mereka di puncak.

Sebagai penutup, agar tak mudah terhegemoni dan terpengaruh oleh budaya populer yang ternyata memang digunakan oleh perusahaan-perusahaan dan industri untuk kepentingan mereka sendiri, maka sebagai kaum muda lebih baik mulai sekarang mengurangi menonton TV dan memperbanyak membaca dan diskusi.



d

d

trr68ft76

Once in the Red Moon

~ Act 1 ~
Fade in, on a bedroom which is large enough. In these rooms, neat one shelf full of books, some written by Karl Marx, Engel, Lenin, Tan Malaka, Pramoedya A Toer and also Soe Hok Gie. Beside that, there is a wardrobe which Tan Malaka poster is sticked on there. Near from it, there is an unkempt desk, a sign that it had been used by the owner, but forgot to trim again. Above the table there is an alarm clock that shows two o’clock in the morning. Above the table there is also a wood-framed glass windows, the curtains are open.
Outside the window, half moon dim red light decorates the sky. The night sky was dark black with no stars. In addition to the corner of the wall, there is a small bed made from bamboo. There sleep a 20-year-old boy’s. His foot is doing a little moving, his breathing irregular snorted. His body was drenched in cold sweat. Within seconds he streaked. He wakes from his bed. Across the room we can hear his mother is screaming.
Winarko go out from his bed, and then he stepping to the door, it was also his mother immediately went to her room with panting breath.

Aisah : Astaffirulah ...are you okay son?
Winarako : Of course I’m alright mom. You looked so worried, something is
wrong, mom?
(Then Aisah sitting in a chair near the table, Winarko immediately give her a glass of water in the kitchen)
Aisah : Son, I’m to worry about you.
Winarko : Worry? What do you mean?
Aisah : Son, somehow I get bad feeling tonight. Boy, what have you done
lately? Whether your collage fine?
Winarko : Mom, why you so suspicious? Like the other students, discussions,
studying, demonstrations…
Aisah : That is it, Ko…Ko… You are student, but I see everyday you follow demonstration do you forgot to study?
(Winarko looked angry, then he got up, walked to the bookshelf and look at the book)
Winarko : Ah ... you were worried with me just because of that problem
anyway? Do not worry mom, my friends and I doing demonstrations in
order to fight for something we think is right. Our fight is for the poor
people mom.
Aisah : Son, if you forget your brother? Have you forgotten how he died?
(Winarko turn around to his mother while bring book of Soe Hok Gie)
Winarko : Precisely because he died when he defended the oppressed, I became
fascinated with him. I still remember mom. I remember twelve years
ago he was protesting and demonstrating in the streets Gejayan. I still
remember the news in the newspaper that he was the victim of the
shooting apparatus. Mom, to me, he is a hero.
Aisah : Son, you know, your brother died because he likes fighting. He never
comply with his parents, he died because he likes against their parents.
You know, he’s not at all good brother. I worry, your fate will end up
like your brother.
Winarko : C’mon mom, now we are free from the Suharto regime which is
militaristic and totalitarian. Indeed, our current president still remains
from the military, but, democracy now already in the open freely.
There was no such firing like in the past.
Aisah : Son, you don’t understand.
(Winarko move to bed, and sit)
Winarko : You also mom, you always doesn’t understand.
Aisah : Son, you know I was just got a bad dream. I dreamed that one of my
teeth is loose. Before your brother died, I also dreamed the same thing.
Winarko : Ah, Javanese, mom, it was just a dream. Mom it was just coincidence. Please do not be too superstitious. May be, you better pray to God for me.
Aisah : If it’s your own decision, it’s up to you son. I think you had been grown up, know the best for yourself. Mom can only pray for you son. But remember my son, your family is still always love you. I still not willing you participate the demonstration. Demonstration is dangers Winarko. I forbid you to participate in demonstrations again. Your job is to study!
(Winarko lay down and covered themselves with blankets)
Winarko : Mothers, at least you know that I’m doing this solely for the sake of the people instead for my ambition. I want to fight mom, I want to make changes. As a young child, I felt responsible to not say anything when I saw the oppression.
Aisah : May God always be with you son. Good night.
Winarka : Good night.
(Aisah out from the room)

~ Act 2 ~
Class’ atmosphere in that morning was so quiet. The only sound is only from scratch chalk from lecturer who wrote words “SOEKARNO” on the blackboard. In this class there are also studies of the ten students of history who were attending a national history of Indonesia. One of the ten students is Winarko.

Lecturer : Who is the Indonesian that is not familiar with Sukarno? I guarantee that every Indonesian must know Sukarno, he was charismatic, eloquent, our proclamator, and he was a founding father of Indonesia.
(Winarko raise his hand)
Winarko : But sir, I think the role of Sukarno in Indonesia to fight for the independence do not much as the other great figures such as Tan Malaka. Even according to the study, Sukarno was not the founding father of Indonesia, but Tan Malaka. He was the one who wrote the book "Naar de Republiek Indonesia" in the book it’s formulated what it is called an independent Indonesian republic. Sukarno even use that book as mandatory reading books.
Lecturer : Son, you don’t understand. You know, your experience is still a bit young. Throughout the majority of Indonesian people if asked would be answered that Soekarno are heroes all of us. His role is very important for Indonesia
Winarko : Sir, I think when the Japanese occupation, Sukarno even takes it easy on the suffering of Indonesian people. Before the proclamation, he had been kidnapped and forced by the youth to proclaim the independence of Indonesia.
Lecturer : Young man...full of passion, but less cautious in speech. Maybe you are too much influenced by the mind of Tan Malaka, the communist. Son, Indonesia had Sukarno, and he was the proclamator. Akh, 11 o'clock, okay class that’s all for the lesson and discussion. For Winarko, I hope you're more careful when speaking. See you next time class.
(Winarko put up his books in his bag. Class dismissed, but he with his four friends (Tono, Jodi, Waskito, and Toro) is still in the class. Tono and Winarko are sit on the table, the others is sit in the chair.)
Winarko : Huh, ignoramus lecturer, anti-critique, knowledgeably, and cocky self-righteous!
Tono : True that! Feudal lecturer like that should be replaced only by lecturer who are more democratic and respect the opinions from the younger.
Waskito : It is also true, if he have said the wrong then he should also be able to provide with the appropriate justification. Do not just blame it, but when asked for an explanation she could not answer. He instead thinks that we are not a smart young man and still sloppy.
Toro : Okay, we discuss it enough, how about now we think of where we want to go after this? how about a trip to a computer exhibition.
Winarko : Than a walk to the computer exhibition, how if we go with 700 workers to demonstration in the Malioboro street. Remember, now is May Day.
Jodi : Yes, I remember that May is struggle month for all of the workers in the world.
Toro : C’mon friends, you are too hard to think our country. We are still students, our job right is studying, and we don’t need to follow demonstrations every day.
Winarko : Hey, we are students. our task is to learn, but most importantly how we use our knowledge that has been able to help others. Remember, Pramoedya once said that the scholars must have been unfair since in his mind.
Jody : True that! Revolution! People and student together.
Tono : ah ... Jody, you are only just joined in. Okay, so, shall we go to street Malioboro right now?
Jody : Toro?
Toro : Okay, I’m joining.
Winarko : Let’s go friends!


~ Act 3 ~
In the living room of Winarko’s house. Aisah was sewing clothes while watching television. On the television there are shown news during the day. The news shows that there, in Malioboro street there are clashes between security forces and the demonstrators. The news is mention that some students and workers seriously injured.

Aisah : Oh, God.
(Winarko suddenly opened the door and entered the living room)
Aisah : Winarko, if you had been joined demonstrations in Malioboro?
Winarko : Yes, what’s the problem? sonny, I've already told you, it's better not to follow the demonstration again. but you still break them. Mother also had multiple hook say, your job is to learn rather than a demonstration. Akh mom, you never understand!
(Winarko straight to his bedroom)
Aisah : Son, come here. I understand you!
(Winarko stop his step and saw his mother’s face)
Aisah : Winarko, the mother gave you permission to fight. mother gave permission. mother willingly. mother had seen the faces of the workers victims of the violence. I saw on their faces no brother's face. in the face of the fire victims I see there is your father's face. I therefore allow you to fight.
(Winarko huge his mom)
Winarko : Thank you mom! I’ll fight!

regergre

lPekerjaan investigasi adalah pekerjaan yang sama-sama dilakukan oleh para wartawan dan aparat keamanan (intelijen)
lPekerjaan investigasi yang dilakukan seorang wartawan dan intel memiliki kemiripan. Keduanya kadang harus menyamar, masuk ke lokasi yang berbahaya, mengumpulkan data, mewawancarai sejumlah orang  dan menyimpulkan semua temuan data menjadi sebuah rekonstruksi kejadian serta menemukan kebenaran yang sesungguhnya terjadi.