Akhir dari Sidang Kuasa




(Sebuah refleksi dan analisis tentang dekadensi militansi dan intelektual pergerakan mahasiswa)
Akhir-akhir ini sidang jajaran penguasa kampus yang terdiri dari pemerintah, rektorat, dan para korporat kaya sedang direpotkan oleh tindak-tanduk subversif yang mereka pikir begitu berbahaya bagi mapannya kekuasaan mereka. Tindak-tanduk itu berangkat dari beberapa mahasiswa pembangkang yang tidak mau tunduk dengan sistem yang menurut mereka “salah arah” dan tidak humanis. Mereka berorganisasi, mempertajam senjata dengan pengayaan wacana, bergerak walau kecil dan sporadis, dan yang paling ditakuti adalah: Ya! Mereka militan. Selain pembangkang, mereka adalah jenis mahasiswa yang tahan banting. Selalu saja ada jalan untuk melawan. Perlawanan mulai dari tataran ideologis seperti perang wacana dengan rektorat, tentang apakah pendidikan di kampus mereka adalah pendidikan yang humanis atau fasis. Tataran praktis, seperti memperdebatkan regulasi yang tidak tepat sasaran atau uang kuliah yang terlampau mahal. Hingga pada tataran yang melanggar hukum, seperti masa aksi di depan rektorat, merusak sistem informasi perkuliahan, sampai mensabotase rapat jajaran senat.

Metode pendisiplinan a la abad pencerahan yang sifatnya meniadakan, merepresi, mensensor, mengabstraksikan, menyelubungi, dan menyembunyikan dirasa tak lagi efektif untuk menjinakkan mereka. “Makin diinjak, makin melawan” adalah slogan bagi para mahasiswa pembangkang. Ketika ada ketidakadilan yang ditutup-tutupi, maka dengan cerdik mereka segera menguaknya. Indera mereka tajam, dan perasaan mereka pun peka. Ketika ada ketidakmanusiawian dalam perlakuan kepada mahasiswa, mereka mengadvokasi korban dengan pemberitaan dan pembentukan opini publik. Ketika ada kesalaharahan dalam sistem pendidikan, mereka membuat sistem pendidikan sendiri dengan basis komunitas yang kuat. Ketika ada penyensoran dan pembredelan media kampus, maka mereka membuat media sendiri dan menyebarkannya dengan diam-diam.

Jajaran penguasa sudah cukup dibuat pusing dengan kemilitanan para mahasiswa pembangkang tersebut. Harus ada metode pendisiplinan baru yang lebih efektif demi mempertahankan kemapanan kekuasaan mereka. “Eureka!” Teriak korporat kaya dengan girang saat ia menemukan metode pendisiplinan untuk para mahasiswa pembangkang pengusung ide-ide subversif. Mereka mengusulkan untuk lebih mengintensifkan penggunaan senjata yang bernama wacana budaya pop arus utama. Semua setuju.

Duarr!!! Bagaikan bom kluster, wacana budaya pop pun ditembakkan. Area yang disasar adalah anak kuliahan pada umumnya. Teknologi informasi, hiperrealitas media, dan dunia hiburan menjadi motor wacana budaya pop tersebut menyebar tak tentu arah. Kampus membuka lebar-lebar jalan masuk perusahaan-perusahaan yang ingin menawarkan produk mereka. Sejak saat itu semakin seringlah di area kampus dibuka tenda-tenda produk pemutih wajah, makanan ringan, voucher hp, pembalut wanita, dan berbagai variasi merk pelangsing tubuh. Produsen-produsen televisi swasta tak lagi malu menawarkan mimpi-mimpi popularitas dengan idol-idol-an-nya, atau membuka kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswa untuk sedikit mencicipi rasanya masuk TV. Konser-konser dan pertunjukan hiburan yang mendatangkan artis-artis ibukota lebih digiatkan. Hedonisme dan konsumerisme ditunjukkan oleh para petinggi kampus macam dosen dan jajaran rektorat. Disadari atau tidak, di balik itu semua, bersembunyi iming-iming akan kesenangan. “Apa saja yang menyenangkan, itulah yang penting”.

Efek bom wacana tersebut mengenai para mahasiswa yang sebelumnya sudah hedonis dan nge-pop, sekaligus juga kepada para mahasiswa yang baru saja masuk ke dunia perkuliahan. Pengaruh wacana budaya pop arus utama yang sebelumnya sudah banyak dicekokkan oleh media massa kepada para mahasiswa baru ketika mereka masih SMA, menjadi terakumulasi dan semakin mengental ketika mereka memasuki dunia perkuliahan. Konsekuensi logisnya, gerakan mahasiswa untuk perubahan tidak lagi ada kadernya. Hal tersebut disebabkan karena gerakan mahasiswa dirasa tidak memberikan kesenangan seperti yang ditawarkan oleh semangat hedonisme dalam budaya pop. Semakin lama minat mahasiswa untuk terjun di sana dengan sendirinya merosot. Pengaruh gaya hidup mahasiswa dan aktivis-aktivisnya yang semakin terpesona oleh budaya pop menyebabkan pergeseran gerakan mahasiswa. Mahasiswa menjadi malas berorganisasi, bergerak, juga melawan. Karena, mahasiswa yang berorganisasi, bergerak, dan melawan adalah mahsiswa yang “abnormal”. Satu-dua mahasiswa tidak terperangkap budaya pop arus utama, namun sayang mereka menunjukkannya hanya dengan gaya hidup yang banal saja, macam tidak ikut fashion, nongkrong, bersenang-senang, mabuk-mabukan, namun tak ada niat untuk perubahan keadaan sosial. Sidang kuasa pun tersenyum.

Tak bisa dipungkiri, ini adalah ujian terberat bagi para mahasiswa pembangkang yang masih menjaga semangat pelawanan mereka. Seperti tak mau memberikan celah, penguasa pun mengeluarkan senjata mereka lagi, kali ini adalah pengetatan regulasi-regulasi perkuliahan maupun non-perkuliahan. Contoh, masa kuliah dibatasi hanya 5 tahun saja, jumlah SKS yang harus ditempuh diperbanyak, pelaksanaan sistem poin yang membuat mahasiswa menjadi sangat pragmatis, hingga penaikan biaya kuliah yang begitu tinggi. Akibatnya, mahasiswa pun menjadi study-oriented. Pergerakan dan organisasi mati karena dianggap mengganggu perkuliahan dan para mahasiswa pembangkang nasibnya lebih sial, terancam DO. Organisasi sepi karena disorientasi gerakan. Banyak mahasiswa yang memilih berkompromi dengan masuk sistem di kampus, tetap ada yang melanjutkan perlawanan (walaupun sendiri, dan terancam DO) namun berakhir dengan kelelahan dan keputusasaan. Militansi hilang, pergerakan mati, kekuasaan pun tetap langgeng. Senyum sidang kuasa semakin lebar.

Dari refleksi ini kita bisa menarik benang merah cara kerja pendisiplinan subyek kuasa kepada yang dikuasai (meskipun ternyata, subyek kuasa pun juga termasuk hasil kuasa itu sendiri). Mereka sadar bahwa kuasa tak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi terutama melalui wacana, normalisasi, dan regulasi. Ini yang disebut Foucault sebagai kontrol sosial yang baru. Bertentangan dengan ideologi pendisiplinan a la abad pencerahan yang telah dijalankan,  tujuan utama kontrol sosial adalah untuk mendepolitisasikan ketidakpuasan sosial dengan menyingkirkan atau mengasingkan  individu yang non-kompromis dan meregulasikan mereka dengan sebuah alat  penjagaan  dan managemen psikologis.
 
Dari sini kita harus menyadari bahwa cara kerja kuasa memang perlu dikuliti untuk mendelegitimasi kekuasaan itu sendiri. Karena kuasa memproduksi realitas dan ritus-ritus kebenaran. Yang didisiplinkan adalah jiwa kita. Psikis, subjektivitas, personalitas, kesadaran dan individualitas kita. Kita menjadi saling mengawasi, bahkan dengan sukarela. lalu kita mendisiplinkan diri kita sendiri. Sesuai dengan apa yang diinginkan oleh subyek kuasa.

Leo Agung Bayu W.
~nataser~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar