ABOUT GOD

Lagi iseng baca-baca blog dan sedikit ngantuk, tiba-tiba aku nemu tulisan tentang TUHAN yang aku dapat dari sini, ngantuk langsung ilang, karena tulisan tentang TUHAN ini sangat menarik ( menurutku ), yang ditulis oleh Soe Tjen Marching, seorang feminis kelahiran Surabaya, 23 April 1971 dan saat ini ia menjabat sebagai penasehat sekolah Mandala di Surabaya.

monggo disekecaaken :

TUHAN

Kalau Tuhan benar-benar ada, maka sudah seharusnya dia dimusnahkan,
kata seorang filsuf Rusia Mikhail Bakunin. Tuhan yang menyerang Jemaah
Ahmadiyah dan Tuhan yang saya pelajari di bangku sekolah membuat saya
mengamini Bakunin. Tuhan, yang harus ditulis dengan huruf besar
sebagai tanda keagungan-Nya. Tuhan yang lelaki, atau paling tidak yang
mempunyai kekuasaan patriarki, dan yang membuat mulut bocah saya
terbungkam ketika hendak melontarkan pertanyaan: “Mengapa perempuan
tidak bisa menjadi pastor?”

Namun, mengapa manusia mempercayai Tuhan yang seperti ini?
Ketercengangan, kebingungan dan keresahan manusia akan alam terkadang
menuntunnya untuk mencari Yang Maha Kuasa. Karena itulah, manusia
sempat menyembah gunung, matahari atau cahaya apa saja dari langit.
Karena bagi mereka, Tuhan tidak lain dan
tidak bukan adalah Yang paling ditakuti. Kepercayaan pada yang maha
kuasa memang sering didasarkan pada ke-egoisan.

Karena manusia ingin diselamatkan, diberkahi dan diberi rejeki yang
melimpah dari yang disembah, mereka bahkan mencoba menyogok Tuhan
dengan sesaji. Tidaklah heran bagi manusia seperti ini, Tuhan adalah
diktator yang selalu menuntut.
Tuhan yang pencemburu, yang begitu murka ketika manusia melupakanNya.
Keberadaan Tuhan seperti ini begitu tergantung pada manusia. Dengan
kata lain, dia serupa dengan manusia yang menyembahNya: sebuah
keberadaan yang menuntut dan tidak mandiri. Yang tak rela diduakan. Yang selalu
tergantung pada elu-eluan penyembahnya. Tuhan dengan krisis identitas.

Dan tidaklah heran, bila Tuhan semacam ini dapat ditemukan dalam sosok
pemerintah otoriter: pada Firaun Mesir yang mengaku sebagai utusan
Tuhan, dalam sosok Kaisar Jepang yang menjadi wakil Yang Maha Tinggi,
atau pada pemerintah Kerajaan Inggris kuno. Bahkan juga dalam pejabat tinggi
negara kita yang memaksa para warganya untuk menulis agama mereka. Dan dalam
keroyokan yang mengamuk, merusak dan
menyerang insan-insan yang tak mempercayai Tuhan tertentu.

Tuhan seperti ini menjadi simbol patriarki, yang melahirkan dualisme
tajam: Yang Kuasa dan pengikutNya. Namun, ambisi manusia untuk memuja
terkadang sama besarnya dengan ambisinya untuk dipuja. Karena itulah,
Tuhan dan pengikutnya seringkali menjadi cermin yang memantulkan
persona yang sama. Dan karena itu pula, si pengikut dapat berlaku
seperti Tuhan mereka: penghukum yang tak kenal
ampun. Bahkan lebih parah, karena dalam si pengikut, apa yang abstrak
dan menjadi metafor, dapat menjadi nyata dalam tindakan mereka. Apa
yang menjadi kata, tiba-tiba menjadi kekejaman yang mengakibatkan
tangis dan membawa mangsa.

Penggambaran Tuhan sebagai Yang Maha Tinggi, Yang Maha Esa, seakan
tidak lain adalah cara manusia untuk menjadi narsis. Karena gambaran
seperti inilah yang
memberi kesempatan manusia untuk memahkotai diri mereka sendiri dengan
gambaran yang begitu melambung dan dilambungkan.
Kemarahan para pengeroyok terkadang disebabkan oleh kekecewaan narsis
mereka. Ketika Tuhan mereka digambarkan berbeda, ketika kelompok lain
menawarkan interpretasi yang berlawanan dari ide mereka, ketika
manusia layaknya Musdah Mulia (yang membela LGBT) atau Ahmadiyah yang
mempunyai pandangan baru tentang Tuhan, ego pengeroyok inilah yang
telah tersakiti. Karena pada saat
itu, para narsis ini tiba-tiba menghadapi kenyataan bahwa harapan
mereka tak akan pernah sampai. Narsis yang tidak siap untuk merombak
keyakinan mereka atau
paling tidak mendengar keyakinan yang lain. Namun, narsis yang marah
karena kekecewaan. Karena Tuhan mereka tidaklah selalu benar, besar,
dan kekar.

Inilah salah satu alasan yang membuat atheis meninggalkan Tuhan. Bagi
banyak atheis, hanyalah dalam sains-lah kebenaran dapat diungkap.
Dengan bukti dan akal. Namun, sains sendiripun seringkali relatif dan
dapat disanggah: Teori Newton dipatahkan oleh Einstein yang menawarkan
teori relativitas. Teori Einstein ditentang lagi oleh Neils Bohr yang
menyatakan bahwa teori Einstein tidak cukup relative karena Einstein
luput mengindahkan karakter kuantum mekanik
yang tak pernah konstan, dan yang selalu terpengaruh oleh
subyektifitas sang peneliti. Neils Bohr-pun disanggah lagi oleh
Everett, dan seterusnya dan
seterusnya. Memang, dalam pencariannya akan kebenaran, manusia tak
pernah dapat menemukan jawaban akhir yang pasti.

Dan bukankah pencarian akan Tuhan dapat dibandingkan dengan pencarian
dalam sains? Karena keduanya menyiratkan pertanyaan-pertanyaan akan
keberadaan, kehidupan dan asal galaksi kita, dan asal kita sebagai
manusia.

Karena bila kita berani untuk mencari dan mencari lagi akan kebenaran,
kita akan ditarik pada labirin yang berlapis dan tiada habisnya. Dalam
pusaran-pusaran teori, tanya, jawab dan kebimbabangan, yang di
dalamnya selalu ada jurang begitu
dalam yang belum pernah kita lihat. Yang tak akan dapat kita kunjungi.
Namun, hal inilah yang terkadang membuat saya terus mencari dan mencari.

Pada suatu renungannya akan Tuhan, Einstein menyatakan bahwa ada suatu
keindahan yang tiada tara, yang tak pernah dapat kita mengerti.
Sesuatu yang membuat kita tersentuh dan beriman. Dan karena
ketidak-mengertian inilah, Einstein terus mencari.
Memang, ketidak sabaran akan jawaban yang serba cepat, keinginan untuk
mengambil jalan pintas dan ambisi akan kekuasaanlah yang dapat
menuntun manusia untuk
merumuskan Tuhan yang satu, yang kaku. Walaupun di dunia ini, terdapat
bermacam-macam Tuhan. Beberapa teks bahkan sempat menyebut lebih dari
200 tuhan dalam sejarah dunia.
Dan di dunia yang serba dinamik, yang terus bergerak dan menari dalam
segala getarannya, bagaimana Tuhan dapat menjadi begitu statik:
berhenti dan terpaku dalam suatu zona tempat dan waktu? Dalam sebuah
dogma yang membuahkan amarah? Tuhan yang dilahirkan oleh dogma adalah
Tuhan yang mati. Tuhan yang dapat dibunuh oleh para atheis. Tuhan yang
telah saya bunuh.

Karena seharusnya, pencarian akan Tuhan selalu membawa kita pada
ketidak-tahuan. Pada pertanyaan. Dan terkadang, kebingungan. Karena
itu, kita harus siap tidak
saja untuk menemukan keindahan yang tiada tara, namun juga kekecewaan..
Karena pencarian akan Tuhan adalah tidak lain dan tidak bukan
pencarian akan esensi kita, keberadaan kita. Esensi kita yang tak
terlihat namun ada. Esensi
yang begitu dekat, namun tak dapat dimengerti. Karena itulah Chuan Tzu
berkata: “Kita berkata ˜aku˜, namun tahukah kita siapa dan apa artinya
˜aku?”.

Dan segala kebingungan, segala tanya, di antara yang ada dan tanpa,
saya dapat berkata: Saya tidak percaya akan Tuhan. Namun saya percaya
akan tuhan. tuhan yang tak berkelamin, yang tak semena-mena, yang tak
maha tinggi dan yang tak maha Esa. Dalam tuhan yang seperti ini, saya
dapat bertakwa.

(**Soe Tjen Marching, penulis buku The Discrepancy between the Public
and the Private Selves of Indonesian Women diterbitkan oleh the Edwin
Mellen Press).

1 komentar:

  1. Membuka pikiran.

    Soe Tjeng Marching keliatan seperti nostik.. Apa dia punya agama??

    BalasHapus