prolog

Aneh... aku merasa tertantang untuk lengang.
Batas itu semakin nyata, hingga mataku selalu tertutup.
Pernah suatu masa aku terkagum akan balung, terpana dalam fana, terpikat oleh lekat, pekat, sekat... berat! Berat tanpa giat, dan sarat akan potret.
Terpuruk dalam dekadensi dunia.
Moral itu semakin tak terselami, tak terselamat-kan. Di sepanjang panggang ini aku gamang! Dasar jalang, aku tak pernah berharap.
Berharap padamu, -Mu, Mu?
Rajutan sarat makna itu kembali menempel di peluh, jaring, taring...garing. tanpa takut gelap akan selalu kelam. Kelammu membuatku sadar akan terangku.
Memang jelang rembulan malu, aku selalu haru, biru, tau! Tau akan galau yang selalu menjadi kantuk dalam hari yang tertapak dan tertata dalam dimensi gesang...gesang yangkersang dan gersang?
Tak terlammpau oleh waktu, sejatinya gersang itu untuk dicintai dan mencintai. Terkadang semu menjadi takluk akan bayu.
Bayu dalam ungu yang ada di dalam matamu, otakmu, hatimu!
Sang balur akhirnya telah menjadi belur. Belurpun menjadi galur. Bertabur bubur dalam hancur..lebur.
lelah aku melihat tangis, tanpa harus mengemis.
Gerimis penghapus garis pun telah berlalu meninggalkan jejak tangis-tangis lalu berbaris, meringis, bukankah ini tragis?
Perasaan apriori terkungkung dalam kerangka subuh...hingga jauh, terjatuh! Tanpa sauh aku mengakar dalam bantala. Mengakar. Mengakar. Tanpa tahu arah pucuk batangku, pucuk daunku. Dewi, tuntun aku di gayung tanganmu.
Tak terasa kelu itu telah tertutup oleh layu. Layu dalam sapuan waktu, bayu, haru! Haru memang.
Tak pernah terpikirkan, ziarahku sampai ke dimensi ini.
Terbang dengan terang.
Berapapun lamanya, Sang Ada akan selalu menuntunku.
Tanpa malu, terangkai ayu. Haruskah semua layu?
Pernahkahkah kau berpikir? Ya! Aku bertanya kepadamu! Ayo jawab!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar